PUTRA M AKBAR/REPUBLIKA

Pekerjaan Rumah untuk Komunikasi Publik

Pemerintah menyadari ada kekurangan dan mulai memperbaiki komunikasi publik.

Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin genap berusia satu tahun pada 20 Oktober 2020. Satu tahun berjalan, dinamika politik dan kebijakan publik banyak terjadi. Belum lagi, adanya pandemi Covid-19 yang sejak Maret lalu menguji ketangguhan tim pemerintahan yang dipimpin Jokowi.

 

Salah satu hal yang paling disorot masyarakat sepanjang satu tahun kinerja Kabinet Indonesia Maju adalah cara pemerintah berkomunikasi, dengan legislatif, yudikatif, maupun di hadapan rakyat. Ujian komunikasi politik dan komunikasi publik ini sangat kentara sekali ketika pemerintah bersama parlemen menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

 

Belum lama ini, aturan sapu jagat tersebut disahkan oleh DPRdanmemicupolemik di masyarakat, terutama dari kalangan para buruh dan mahasiswa. Dibandingkan RUU lainnya, pembahasan RUU Cipta Kerja ini dilakukan dalam waktu singkat, meskipun di tengah pandemi Covid-19.

 

Konsep hukum perundang-undangan yang disebut sebagai Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan usulan dari pemerintahan Presiden Jokowi. Saat pelantikan sebagai presiden di periode kedua, Oktober 2019 lalu, Jokowi sempat menyinggung mengenai omnibus law ini.

 

Presiden mengajak berbagai pihak, termasuk DPR untuk membantu menyelesaikan undang-undang ini. Menurut Jokowi, saat itu, omnibus law dapat menjadi solusi dari berbagai peraturan yang tumpang tindih dan menghambat pertumbuhan investasi. Dengan omnibus law, ia yakin lapangan pekerjaan pun akan terbuka semakin lebar.

 

Dalam proses penyusunan draf omnibus law oleh pemerintah, Jokowi beberapa kali menyampaikan harapan kepada DPR untuk membantu menyelesaikannya dalam waktu singkat. Komunikasi politik yang dilakukan Jokowi pun berjalan mulus seiring dengan langkahnya yang beberapa kali memanggil sejumlah pimpinan partai pendukung pemerintah untuk membahas aturan baru ini.

Meskipun komunikasi politik berjalan lancar, komunikasi publik pemerintahan Jokowi mendapat sorotan. Sebab, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja disebut tanpa melibatkan berbagai pihak. Hal inilah yang menjadi pemicu adanya penolakan terhadap omnibus law ini, sebab banyak aturan di dalamnya yang justru merugikan kaum buruh dan menguntungkan pengusaha.

 

Sampai pada akhirnya DPR mengesahkan omnibus law menjadi UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu. Tak membutuhkan waktu lama, masyarakat dan organisasi buruh pun langsung melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Hingga kini, aksi penolakan juga masih terus berlanjut meskipun pemerintah telah memanggil berbagai kalangan untuk membahas bersama aturan turunannya.

 

Jokowi menyadari, komunikasi publik yang dilakukan pemerintahannya masih kurang baik. Dalam rapat terbatas pada Senin (19/10) pekan lalu, Presiden Jokowi sempat meminta agar jajarannya membangun komunikasi publik yang baik kepada masyarakat.

Ia menekankan pentingnya komunikasi publik yang baik dan hati-hati untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan pemerintah. Jokowi tak ingin, kurangnya komunikasi publik menimbulkan salah persepsi di masyarakat seperti halnya UU Cipta Kerja.

 

“Menyangkut nanti persepsi di masyarakat, kalau komunikasinya kurang baik bisa kejadian kayak di UU Cipta Kerja ini. Jadi, saya harapkan betul-betul disiapkan mengenai vaksin, mengenai komunikasi publiknya,” ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas antisipasi penyebaran Covid-19 saat libur panjang pada akhir Oktober.

 

Menanggapi buruknya komunikasi publik pemerintah, Kepala Staf Presiden Moeldoko pun mengaku telah mendapatkan teguran dari Presiden Jokowi. Tak hanya Moeldoko seorang diri, teguran juga menyasar menteri-menteri lainnya. Karena itu, Moeldoko berjanji pemerintah akan terus melakukan perbaikan komunikasi publik ke depannya.

Kami semua ditegur oleh Presiden bahwa komunikasi publik kita sungguh sangat jelek.

“Kami semuanya ditegur oleh Presiden bahwa komunikasi publik kita sungguh sangat jelek. Untuk itu ini sebuah masukan dari luar maupun teguran dari Presiden, kita segera berbenah diri untuk perbaikan ke depan dengan baik,” ujar Moeldoko.

 

Moeldoko mengakui, pemerintah terus mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait gaya komunikasi publik yang selama ini dilakukan, khususnya terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Belajar dari isu UU Cipta Kerja yang kemudian berujung demonstrasi di berbagai daerah, pemerintah kini mulai memperbaiki komunikasi publik, khususnya terkait persiapan vaksin.

 

Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Effendi Ghazali, menggarisbawahi masih ada kekurangan dalam aspek komunikasi pada satu tahun Jokowi-Ma’ruf. Effendi mengatakan, komunikasi politik yang mutakhir di dunia, yaitu algoritme dari rasa dan narasi, yang dikemas sedemikian rupa untuk mengirimkan pesan-pesan komunikasi publik.

 

Menurut dia, ada banyak kontradiksi dalam komunikasi publik yang dilakukan pemerintah. Effendi mencontohkan, perlakuan berbeda terhadap satu orang tertentu dan lain orang terkait penegakan hukum. Ini kian mempertebal ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

 

“Kalau saya ingin mengatakan, rasa dan narasi yang sedang dikembangkanpemerintah, saling berkonflik satu sama lain. Jadi, dia berkonflik di dalam elemen-elemen komunikasi publiknya. Lalu berkonflikantara para komunikatornya,” kata Effendi kepada Republika, pekan lalu.

 

Effendi mengatakan, amat sulit bagi rakyat saat ini untuk melihat narasi penegakan hukum berlaku sama, bila di saat bersamaan ada perlakuan berbeda antara aktivis dan jenderal. “Ada aktivis diborgol, sedangkan jenderal tidak,” ujarnya. Demikian pula pengaduan terhadap penegak hukum terkait UU ITE yang mendapatkan perlakuan yang berbeda.

 

Selain itu, kata dia, sulit juga bagi masyarakat menerima narasi “serius menangani Covid-19” atau “bersatu melawan Covid-19” ketika Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak menegakkan UU yang menyatakan bagaimana membentuk Konsil Kedokteran Indonesia semestinya. “Ini kan membuat jarak antara pemerintah dan para ahli dari berbagai profesi kesehatan,” kata dia.

Begitu juga terkait narasi pembelajaran jarak jauh (PJJ). Effendi mengatakan,sulit bagi masyarakat untuk menerima narasi bahwa PJJ berjalan sukses, kalau masih ada keterbatasan gawai atau sinyal di sejumlah daerah di Indonesia.

 

“Padahal, menteri pendidikan adalah tokoh yang lahir dari fenomena disruption. Isi kurikulum PJJ pun belum terencana dengan baik. Tentu harus ada usulan-usulan perbaikan,” ujar dia.

 

Satu hal lain dari komunikasi publik pemerintah yang dinilai penuh kontradiksi, yakni pernyataan Kemenkominfo terkait hoaks. Menurut dia, narasi seperti itu tidak didukung oleh rasa yang ada di tengah masyarakat.

 

“Misal, para ahli menyatakan, sesudah diketok palu dalam sidang paripurna, mengubah substansi sekecil apapun dari Omnibus LawCipta Kerjaadalah terlarang. Menurut saya, melakukan hal tersebut juga hoaks,” kata dia mencontohkan.

 

Effendy meminta agar Kemenkominfo berkoordinasi dengan KSP, khususnya tenaga ahli utama yang kerap berkomentar di banyak media. Di atas menteri komunikasi, kata Effendi, ada para menteri koordinator. Sehingga jika ada yang perlu diralat atau diperbaiki, bisa diserahkan kepada menko.

 

“Sementara Presiden dan jubirnya (juru bicara) adalah penyampai pesan komunikasi publik terakhir. Kalau jubirnya perlu diralat atau diperbaiki, ya Presiden yang akan berbicara pada pamungkasnya. Jadi, dibutuhkan koordinasi komunikasi publik seperti itu,” ujar dia.

 

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu menegaskan, sikap PKS sudah jelas, yaitu sebagai oposisi pemerintah. Menurut dia, di tengah krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, dibutuhkan pihak yang mengkritik dan mengawasi penanganannya.

 

Selain itu, ia berharap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dapat mengakomodasi kepentingan rakyat untuk empat tahun ke depan. Syaikhu tak ingin pemerintah saat ini justru dicap sebagai pihak yang menguntungkan segelintir elite saja.

 

“Kunci keluar dari krisis ini adalah semangat kebersamaan dan setia pada cita-cita luhur para pendiri bangsa. Menjadikan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya,” ujar Syaikhu.