Daán yahya/Republika

Budaya Islam Lahirkan Musik Blues

Ada jejak kultural kaum Muslimin Afrika barat di sejarah genre blues Amerika.

Oleh: Hasanul Rizqa

Percayakah Anda bahwa genre musik blues berakar dari tradisi umat Islam? Sejumlah peneliti mengonfirmasi kaitan sejarah seni tarik suara itu dengan para imigran Muslim kulit hitam di Benua Amerika.

 

Yang dimaksud dengan blues adalah sebuah aliran musik vokal dan instrumental yang mulai terkenal di Amerika Serikat (AS) sejak paruh kedua abad ke-19 Masehi atau sekitar tahun 1860-an. Pada masa itu, genre tersebut memadukan lagu-lagu rohani, lagu kaum pekerja, sorak-sorai mereka di lapangan, teriakan, senandung, dan bahkan balada naratif sederhana yang ritmis. Semua itu biasa dilantunkan komunitas kulit hitam asal Afrika di AS, khususnya daerah Semenanjung Delta Mississipi.

 

Blues menerapkan blue note, yakni notasi nada yang dimainkan dengan sedikit berbeda daripada bentuk standar. Selain itu, pemain musik genre ini juga biasa menunjukkan pola "call and response", yakni semacam interaksi ketika dirinya memanggil (to call) dan khalayak pendengar kemudian menanggapinya (to response).

 

Umumnya publik AS meyakini, William Christopher Handy (1873–1958) sebagai pemusik pertama yang menerapkan blue note dan pola "call and response." Bahkan, komponis Afrika-Amerika itu pun mengeklaim dirinya sebagai "Bapak Genre Blues", sebuah gelar yang sampai kini diamini oleh mayoritas penikmat lagu-lagunya.

 

Lahir di Alabama, WC Handy mulai menunjukkan bakat bermain musik sejak berusia 15 tahun. Dalam umur semuda itu, ia telah mengaransemen beberapa lagu. Remaja kulit hitam itu juga banyak terpengaruh oleh musisi-musisi lokal Mississippi.

 

WC Handy menulis lagu pertamanya, "Mr Crump" pada 1909. Judul tersebut merujuk pada seorang kandidat wali kota Memphis, Edward Hull Crump. Politikus itulah yang merekrut Handy muda untuk mengisi panggung hiburan di setiap kampanye. Hasilnya, Crump berhasil mengalahkan para lawannya di pemilihan umum.

 

"Mr Crump" diubah judulnya menjadi "Memphis Blues." Sejak dipublikasikan oleh penerbit Theron Bennett di New York, popularitas lagu itu pun langsung melejit. Namun, Handy sendiri merasa telah "dirampok" karena tidak bisa menikmati hak cipta (copyright) lagu tersebut. Banyak pihak memandang, hal demikian terjadi lantaran masih kuatnya pengaruh rasisme di AS pada saat itu.

 

Barulah pada 1914, Handy menggubah "St Louis Blues." Hingga kini, lagu tersebut diakui luas sebagai "Hamlet-nya Blues" atau semacam "lagu kebangsaan" bagi genre musik ini. Sang "Bapak Genre Blues" meninggal dunia pada 28 Maret 1958 di Kota New York.

 Penggalan gambar dari manuskrip Arab, Qissat Bayad wa Reyad, akhir abad ke-12 | DOK MUSLIM HERITAGE

Pengaruh Islam

 

Klaim bahwa seseorang adalah "bapak blues" tidak berarti menyudahi diskusi soal dari mana mulanya genre musik tersebut. Para ilmuwan, termasuk Sylviane Diouf dari Pusat Kajian Budaya Kulit Hitam Schomburg New York, menunjukkan bahwa blues memiliki relasi dengan tradisi masyarakat Muslim di Afrika barat.

 

Untuk membuktikan keterkaitan antara musik blues Amerika dengan tradisi kaum Muslim, penulis buku In Motion: The African-American Migration Experience (2005) itu menunjukkan dua rekaman kepada hadirin di sebuah seminar di Harvard University. Yang pertama adalah lantunan azan, sesuatu yang akrab di telinga orang Islam, tetapi mungkin asing bagi kebanyakan rakyat non-Muslim Amerika.

 

Kemudian, Diouf memutar "Levee Camp Holler", yakni lagu blues lawas yang pertama kali muncul di Delta Mississippi sekitar 100 tahun silam. Menurut peneliti tersebut, lagu itu diciptakan oleh komunitas kulit hitam Muslim asal Afrika barat yang bekerja di AS pasca-Perang Saudara (American Civil War) 1861-1865.

 

Lirik "Levee Camp Holler" itu terdengar seperti azan karena berisi tentang keagungan Tuhan. Seperti halnya lantunan panggilan shalat, lagu tersebut menekankan kata-kata yang terdengar bergetar. Menurut Diouf, langgam yang sengau dalam lagu genre blues itu dan kemiripan liriknya dengan azan adalah bukti pertautan antara blues dan umat Islam, khususnya dari Afrika barat.

 

Publik yang hadir di ruangan Harvard University itu tampak takjub dengan bukti yang diungkapkan Diouf. "Mereka berkata, 'Wow, benar-benar terdengar sama (lagu blues dan azan),'" tulis perempuan akademisi itu.

 

Jonathan Curiel dalam artikelnya, "Muslim Roots, US Blues" (2006) mengatakan, publik Amerika perlu berterima kasih kepada umat Islam dari Afrika barat. Kebanyakan mereka pada masa silam datang ke AS memang sebagai budak, tetapi juga membawa kebudayaan yang kaya.

 

Sejak abad ke-17 hingga medio 19 M, banyak penduduk kulit hitam dari Afrika barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak. Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen dari mereka adalah orang Islam. "Meski oleh tuannya dipaksa untuk menganut Kristen, banyak budak dari Afrika itu tetap menjalankan agama Islam serta kebudayaan asalnya. Mereka tetap melantunkan ayat-ayat Alquran setiap hari," cetus Curiel.

 

Banyak penulis mengkritik upaya penghapusan jejak Islam di Amerika. Sebagai contoh, klaim bahwa Christopher Columbus adalah "penemu" Benua Amerika. Padahal, jauh sebelum pelaut Italia itu lahir, sudah ada para pelaut Afrika yang berlayar mengarungi Samudra Atlantik hingga tiba di sana. Banyak di antaranya adalah Muslim.

 

"Secara historis, kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Columbus 'menemukan' Amerika," tutur Fareed H Numan dalam buku American Muslim History: A Chronological Observation.

 

Sejarawan Ivan Van Sertima dalam buku They Came Before Columbus (1976) membuktikan adanya kontak antara Muslimin Afrika dan penduduk asli Amerika. Ia menunjukkan fakta bahwa para pedagang dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di seberang Lautan Atlantik itu.

 

"Columbus juga tahu bahwa Muslim dari pantai barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara," papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang bahkan telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli.

 

Terkait pengaruh orang-orang Muslim Afrika barat terhadap sejarah blues di AS, Curiel menjelaskan, fenomena itu bisa ditemukan dengan mengamati alat-alat musik yang mereka mainkan. Pada era perbudakan di Amerika, orang kulit putih melarang mereka untuk menabuh drum karena khawatir akan menumbuhkan semangat perlawanan para budak.

 

Bagaimanapun, para majikan mengizinkan mereka untuk memainkan kora, semacam alat musik gesek. Memang, bentuk instrumen dari Afrika barat itu sekilas mirip dengan biola. Guru Besar Ethnomusikologi dari Universitas Mainz Jerman Prof Gehard Kubik mengatakan, beberapa alat musik yang populer di AS pada abad ke-18 dan 19 terinspirasi dari instrumen dari Afrika barat, semisal benta dan banjo Amerika.

 

Secara khusus, Prof Kubik menulis sebuah buku tentang relasi musik blues Amerika dengan peradaban Islam di Afrika barat. Judulnya, Africa and the Blues, yang diterbitkan University Press of Mississippi pada 1999. Dalam kalam pembuka, ia berkata, "Saya yakin banyak penyanyi blues saat ini tak menyadari bahwa pola musik mereka meniru tradisi musik kaum Muslim di Arab."

 

Menurut akademisi yang berpuluh tahun melakukan penelitian lapangan di sejumlah negara Afrika barat itu, ada jejak-jejak musik Afrika barat di genre blues. Gaya vokal kebanyakan penyanyi blues menggunakan melisma, yakni banyak nada dalam satu suku kata. Menurut dia, itu termasuk peninggalan masyarakat Afrika barat yang telah melakukan kontak dengan dunia Islam sejak abad ketujuh Masehi.

 

Adapun intonasi bergelombang khas melisma itu merupakan rentetan yang beralih dari mayor ke skala minor dan kembali lagi. Pola itu sangat umum digunakan oleh para muazin saat mereka melantunkan azan atau para qari Alquran. Prof Kubik mengatakan, para peneliti musik seharusnya mengakui bahwa blues berakar dari tradisi Islam, khususnya yang telah lama berkembang di Afrika barat.

 

Meski telah dibuktikan secara akademis, masih banyak pula yang tak mengakui adanya pengaruh tradisi masyarakat Muslim Afrika dalam musik Blues. "Non-Muslim sangat sulit untuk meyakini fakta itu, karena mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang peradaban Islam dan musik Islami," ungkap Barry Danielian, seorang ahli aransemen musik yang juga pemain terompet di grup "E Street Horns", seperti dilansir dari laman The Muslim Heritage.

 

Danielian mengakui, lantunan azan dan ayat-ayat Alquran yang biasa didengar penduduk di negara-negara mayoritas Muslim mengandung musikalitas. Menurutnya, orang Amerika barang kali akan menyangka kualitas nada yang dibawakan muazin atau qari mirip dengan blues. "Ketika kami berkumpul dan imam datang, lalu melantunkan doa, pasti terdengar sangat musikal. Anda akan mendengar musikal itu seperti orang Amerika menyebutnya blues," katanya.

Muddy Waters (kanan) dan Bob Margolin 1976. Muddy Waters adalah salah satu pemusik blues penting di Amerika. | DOK WIKIPEDIA

Musik dalam sejarah Islam

 

Di beragam peradaban, musik berkembang. Sejarah membuktikan, ia pun menemukan lahan yang cukup subur di daulah-daulah Islam.

 

Pada masa Khulafaur rasyidin di bawah pimpinan Utsman bin Affan, misalnya, apresiasi terhadap musik lahir. Keindahan bebunyian alat musik dan suara bahkan dipelajari. Pemusik laki-laki profesional kemudian muncul. Salah satunya adalah Thuways (632-710). Tokoh kelahiran Madinah ini dipandang sebagai "Bapak Lagu" dalam sejarah Islam.

 

Philip K Hitti dalam karya monumentalnya, History of the Arabs, menuturkan, banyak kalangan yang memandang Thuways sebagai sosok pertama yang memperkenalkan ritme ke dalam musik Arab. Ia juga menjadi orang Arab pertama yang menyanyi dengan iringan tambur.

 

Ibnu Surayj merupakan murid Thuways yang paling menonjol. Surayj memperkenalkan suling Persia ke dalam khazanah kesenian Arab. Sejumlah kisah mengungkapkan, ia mengawali pelibatan anak-anak dalam pertunjukan musik. Selain berguru kepada Thuways, keturunan Persia itu menimba ilmu dari Said bin Misjah alias Musajjah.

 

Menurut Hitti, Said adalah musisi pertama dari Makkah. Dialah yang dianggap sebagai musisi terbesar pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah. Sosok yang gemar melakukan rihlah ke kawasan Syam dan Iran itu mengawali penerjemahan lagu-lagu Romawi Timur (Bizantium) dan Persia ke dalam bahasa Arab. Ia pun kerap diundang untuk bermain musik di rumah-rumah keluarga bangsawan.

 

Alat musik yang masyhur pada masa itu adalah mi’zafah (sejenis harpa), qashabah (seruling), mizwar (suling rumput), dan buq (terompet besar). Kemudian, ada pula tambur segi empat, thabl (drum), dan simbal. Musim haji menjadi kesempatan bagi para musisi menunjukkan kebolehannya membawakan lagu atau aransemen.

 

Pada era Kekhalifahan Bani Abbasiyah, al-Mahdi menaruh perhatian besar pada bidang musik. Khalifah tersebut secara rutin menggelar acara festival seni tarik suara serta mengundang para seniman ternama. Istana negara menjadi tempat bagi para pemain seruling, penyanyi, dan komposer hebat untuk unjuk gigi di hadapan elite penguasa.

 

Tak jarang, musisi hebat muncul dari kalangan internal istana. Salah satunya Ibrahim bin al-Mahdi. Dia adalah saudara kandung khalifah Harun al-Rasyid. Sebelum menjadi khalifah, al-Watsiq (842-847) masyhur akan kemahirannya memainkan seruling dan 100 melodi.

 

Nama lain dengan bakat luar biasa di bidang sastra dan musik adalah al-Muthasir (861-862) dan al-Mu’tazz (866-869). Ahli geografi, Ibnu Khurdadzbih mengungkapkan, khalifah yang bisa dianggap sebagai musisi sejati adalah al-Mu’tamid (870-872). Sebab, raja daulah Abbasiyah itu sangat piawai dalam seni musik.

 

Figur lainnya yang berperan mengembangkan seni musik adalah Ishak bin Ibrahim al- Mausuly (wafat 850 M). Kontribusi pentingnya adalah memperbaiki musik Arab dengan sistem baru. Dialah yang pertama kali mengenalkan cara pengaturan tempo dan ritme dalam pertunjukan.

 

Pemikirannya dalam seni musik tertuang dalam buku yang berjudul, Kitabul Ilhan Ghanam (Buku Not dan Irama). Ishak bin Ibrahim memperoleh julukan "Raja Penyanyi" (Imamul Mughiyah). "Dia musisi terbesar yang pernah dilahirkan peradaban Islam," papar Philip Hitti.

 

Selain itu, khazanah musik Islam mengenal  sosok Khalil bin Ahmad (wafat 791 M). Ia menuliskan irama musik dengan not balok. Demikian pula al-Farabi. Ilmuwan serba bisa (polymath) itu tidak hanya berjulukan "Guru Kedua", sebagai pujian karena kehebatannya di bawah sang "guru pertama", Aristoteles. Sosok yang dipanggil Alpharabius oleh publik Barat ini juga memiliki minat besar dalam meneliti musik. Itu dibuktikan dengan sebuah karyanya, Al-Musiqi al-Kabir (Buku Besar Musik).

WC Handy, sosok yang mengeklaim diri sebagai Bapak Blues Amerika (foto tahun 1949). | DOK WIKIPEDIA

Nasib para musisi

 

Perkembangan musik yang terus menggeliat pada masa daulah-daulah Islam berdampak pada posisi sosial kaum musisi. Mereka memperoleh kewibawaan dan karya-karyanya dihormati. Popularitasnya bahkan sejajar dengan kemasyhuran para ilmuwan. Khalifah tak segan memberikan tunjangan negara kepada mereka.

 

Ibrahim al-Maushilli, misalnya, pernah menuai hadiah 100 ribu dirham dari khalifah Harun al-Rasyid dan biaya hidup 10 ribu dirham per bulan. Mengutip penjelasan Ali Hasymy dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam, kontribusi umat Islam dalam perkembangan seni musik cukup besar. Itu terutama terasa pada unsur vokal dan instrumen musik.

 

Jenis musik warisan kaum Muslim-Arab antara lain adalah qit’a (fragmen), ghazal (lagu cinta), dan mawl (lagu tentang keindahan). Sementara itu, instrumen musik ciptaan para musisi Muslim sejak era keemasan Islam adalah qasaba (nay), tabla (drum), duff (tamborin), serta qasa (simbal).

 

Ada pula oud, yang berbentuk mirip buah pir dan memiliki 12 senar. Alat musik ini sangat penting dalam pagelaran musik. Di Italia, namanya menjadi il luto. Di Jerman, ia dikenal sebagai laute, sedangkan di Inggris bernama lute. "Semua itu menambah bukti bahwa umat Islam memberi perhatian besar pada musik," kata Prof Abdul Hadi WM dalam artikel "Musik, Religiositas, dan Spiritualitas."

Seni suara sebagai salah satu bentuk ekspresi indah yang dibuat oleh manusia tidak secara inheren bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Pengaruh luar Arab

 

Kesenian musik Arab-Islam pun mendapatkan pengaruh dari sejumlah peradaban luar Jazirah Arab. Seorang pemusik, penyair, dan ahli pengobatan dari abad kedelapan, Nadhr bin al-Harits Kaladah memperkenalkan gambus Persia. Begitu pula dengan Said bin Misjah, seorang musisi Makkah pada era Bani Umayyah, yang menerjemahkan lagu-lagu Bizantium dan Persia ke dalam bahasa Arab.

 

Ismail dan Lois Lamya al-Faruqi dalam buku Atlas Budaya menegaskan, para ilmuwan dan musisi Muslim secara serius memadukan teori musik non-Arab dengan nilai-nilai Islam. Kaidah dan pelaksanaannya pun mengambil inspirasi dari Alquran.

 

Pada masa pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, masuknya pengaruh non-Arab dalam perkembangan seni musik di dunia Islam semakin deras. Penerjemahan literatur ilmiah dari teks-teks Yunani Kuno juga mengupas teori-teori musik. Misalnya, legasi dari Aristoteles yang diterjemahkan oleh sang kepala perpustakaan Bait al-Hikmah Baghdadh, Hunain bin Ishaq, ke dalam bahasa Arab dengan judul Kitab al-Masa'il.

 

Ia juga mengalihbahasakan buku-buku karya Euclid menjadi Kitab al-Nagham (Buku Melodi) serta buah pena Nicomachus menjadi Al-Musiqi al-Kabir (Opus Mayor dalam Musik). Mulai saat itulah, bahasa Arab mendapatkan kata musiqah, yang berarti 'musik', dari bahasa Latin-Yunani. Banyak kosakata Latin lainnya yang juga mewarnai khazanah musik Arab.

 

Menurut Philip K Hitti, dari karya-karya Yunani itu, para penulis Arab memperoleh gagasan dan ide ilmiah tentang musik. Mereka juga menjadi semakin ahli dalam aspek fisika dan fisiologi suara. Dari sini pula, bermunculan para penulis teori ilmu musik. Di antaranya adalah al-Kindi.

 

Tulisan-tulisan filsuf ini menunjukkan adanya pengaruh Yunani dalam bidang seni musik awal di dunia Islam. Setidaknya, al-Kindi menelurkan enam karya. Salah satunya mengulas penggunaan notasi.

 

Selain al-Kindi, ada pula Ibnu Abu al-Dunya dan Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Khurdadzbih (894 Masehi) yang  mengembangkan instrumen musik. Pada 912 Masehi,  Ibnu al-Munajjim serta Yahya bin Ali Abi Mansyur melakukan kajian tentang musik.

 

Al-Isfahani, pada 967 Masehi  di Baghdad, menulis risalah biografi pemusik dan kumpulan lagu. Begita pula dengan al-Khawarizmi dan Abu Abdillah al-Makki yang pada akhir abad ke-10 M menyusun ensiklopedia seni dan sains. Karya-karya tersebut sangat penting bagi perkembangan ilmu musik di dunia Islam serta berpengaruh kemudian di dunia Barat.

DOK republika

Hukum bermusik

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan musik sebagai ' nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan.' Sejak masa dahulu hingga kini, bentuk kesenian itu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, termasuk komunitas Muslim di berbagai belahan dunia.

 

Di tengah umat Islam, tak jarang muncul polemik ihwal status musik. Apakah memainkan alat musik itu haram atau halal? Bolehkah seorang Muslim menjadi penyanyi?

 

Mereka yang menyuarakan haramnya musik acap kali memandang bahwa musik termasuk ke dalam perkara yang sia-sia. Pandangan ini lalu mengutip ayat Alquran yang memperingatkan, adanya golongan yang gemar memakai "percakapan kosong" (lahwal hadiits) untuk menjauhkan orang-orang dari dakwah.

 

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan" (QS Luqman: 6).

 

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ayat tersebut sesungguhnya menunjukkan larangan yang ditujukan ke segala bentuk perkataan yang mengajak manusia pada kesesatan dan kemaksiatan. Dalam konteks musik, jika lirik lagu yang dinyanyikan memuat pesan yang mengajak kepada kebaikan, maka tidaklah termasuk dalam konteks larangan tersebut.

 

Tentunya, perhatian bukan hanya pada soal teks atau suatu lirik yang bisa dibaca. Penting pula memperhatikan, bagaimana suatu seni disajikan. Larangan bukan terletak pada nyanyian sebagai sebuah bentuk seni itu sendiri (an sich), melainkan pada cara penyampaian isi teks dan visual yang cenderung membawa kepada kemaksiatan.

 

Seni suara sebagai salah satu bentuk ekspresi indah yang dibuat oleh manusia tidak secara inheren bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun, penting untuk memeriksa konteks dan cara penyajian seni tersebut.

 

Dalam hal musik, termasuk penggunaan alat-alat bunyian, hukumnya bergantung pada alasan (illat) kehadirannya atau di balik penggunaannya. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, ada tiga klasifikasi terkait itu.

 

Pertama, apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan.

 

Kedua,apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan, tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram.

 

Ketiga, apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemungkaran, maka hukumnya jelas haram.

 

Sementara itu, Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU), seperti dinukil dari laman NU Online, juga mengakui adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat Muslim ihwal status musik. Ada yang membolehkan, tetapi ada pula yang menganggapnya bagian dari "lahwal hadiits."

 

Untuk masalah ini, Bahtsul Masail NU mengikuti pendapat sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (1058-1111), seperti tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya Ulum ad-Din. Pada masa sang ulama masyhur itu pun, sudah ada kontroversi ihwal kebolehan atau keharaman bermusik.

 

Lebih lanjut, Imam al-Ghazali secara detail menanggapi argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengharamkan bentuk seni tarik suara. Pada akhirnya, sang Hujjatul Islam cenderung berpihak pada mereka yang memperbolehkan mendengarkan musik, lagu, dan nyanyi-nyanyian.

 

"Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas (menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum --Red) terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain," tulis al-Ghazali.

 

"Bunyian yang berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu. Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi qiyas," jelasnya lagi.

 

Dengan perkataan lain, menurut pandangan Imam al-Ghazali, dirinya tidak menemukan satupun nash (dalil Alquran atau hadis) yang secara jelas mengharamkan mendengarkan lagu atau nyanyian. Kalau pun ada yang mengharamkan musik dan nyanyian, maka keharamannya itu bukan didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, melainkan lantaran dibarengi dengan kemaksiatan, seperti minum-minuman keras, perzinaan, perjudian, ataupun hal-hal melalaikan kewajiban seorang Muslim.

top