Oleh: Hasanul Rizqa
Beberapa hari menjelang awal tahun 2024, Republik Afrika Selatan telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional (the International Court of Justice/ICJ) terkait agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina. Menurut Pretoria, Tel Aviv telah dan sedang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina sehingga melanggar Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948.
Pasca-Perang Dunia II, konvensi itu disahkan sebagai sebuah upaya untuk mencegah terulangnya genosida, semisal holocaust yang dahulu dialami orang-orang Yahudi di Eropa. Baik Afrika Selatan maupun Israel adalah peratifikasi permufakatan tersebut. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948 mendefinisikan genosida sebagai “tindakan yang bertujuan menghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, kelompok etnis, ras atau agama.”
Dalam keterangannya, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyatakan, Tel Aviv saat ini sedang mengulangi kejahatan serupa holocaust itu di Gaza. Ia juga membandingkan tindakan Israel di wilayah Palestina, utamanya Jalur Gaza dan Tepi Barat, dengan rezim apartheid yang pernah menguasai Afrika Selatan periode 1948-1994.
Pemerintahan apartheid, yang diisi minoritas kulit putih, menerapkan segregasi rasial yang mengekang hak-hak sipil mayoritas warga kulit hitam dan kulit berwarna di Afrika Selatan. Kemenangan Nelson Mandela (1918-2013) pada Pemilihan Umum April 1994 menandakan babak baru dalam sejarah negara di ujung selatan Benua Afrika itu.
“Rakyat Palestina saat ini sedang dibom. Mereka sedang dibantai dan ada apartheid di Israel. Maka kami merasa berkewajiban untuk membela dan mendukung rakyat Palestina,” ujar Ramaphosa, seperti dilansir dari I Africa, baru-baru ini.
“Beberapa orang mengatakan bahwa ini berisiko. Kami adalah negara kecil, dengan ekonomi yang kecil pula. Namun, kami tetap berpegang teguh pada prinsip,” katanya menegaskan.
Mahkamah Internasional adalah sebuah badan kehakiman utama yang dibentuk PBB pada 1945. Walaupun sama-sama bermarkas di Den Haag, Belanda, ICJ berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Bila ICJ berfungsi menyelesaikan sengketa antarnegara, ICC ada untuk menuntut individu atas tindakan-tindakan kejahatan, termasuk genosida.
Sebanyak 15 hakim ICJ bekerja untuk mengadili kasus “Afrika Selatan vs Israel” ini. Jumlah itu ditambah dengan dua hakim ad hoc yang diajukan oleh Afrika Selatan dan Israel, yakni masing-masing Dikgang Moseneke dan Aharon Barak.
Dalam dokumen setebal 84 halaman yang diajukan ke ICJ, Afrika Selatan menyatakan bahwa Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza dengan membunuh, menyebabkan kerusakan mental dan fisik, serta menciptakan kondisi yang “diperhitungkan untuk menimbulkan kehancuran fisik” orang-orang Palestina. Pemerintah Israel juga dituding gagal mencegah para pejabatnya yang melakukan penghasutan untuk melakukan genosida.
“Semua tindakan yang disebabkan Israel—yang melakukan genosida dan gagal mencegah genosida—merupakan wujud pelanggaran terhadap Konvensi Genosida 1948,” demikian kutipan dalam dokumen pengadilan tersebut.
Pada Jumat (12/1/2024), Israel melakukan pembelaan dalam persidangan di Den Haag. Tel Aviv membantah tuduhan pihak penggugat yang menyebut operasi militernya di Jalur Gaza sebagai tindakan genosida. “Komponen kunci dari genosida, yaitu niat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, sama sekali tidak ada,” kata tim hukum Pemerintah Israel berdalih di hadapan panel hakim ICJ, seperti dilansir Anadolu Agency.
Israel malahan menuding balik Afrika Selatan. Menurut Tel Aviv, Pretoria memberikan dukungan kepada Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah atau Hamas, yang dilabeli oleh Israel, Amerika Serikat (AS), dan banyak negara Barat sebagai “organisasi teroris.” Bahkan, pengajuan gugatan ke ICJ pun dianggapnya sebagai bagian dari skenario yang dirancang Hamas. “Sudah menjadi catatan publik bahwa Afrika Selatan mempunyai hubungan dekat dengan Hamas," kata mereka.
Di luar kompleks Istana Perdamaian, tempat para hakim ICJ bersidang, para demonstran berkumpul hingga saat ini untuk menyuarakan dukungan kepada Afrika Selatan. Tidak hanya itu. Lebih dari seribu organisasi nonpemerintah dari pelbagai penjuru dunia juga membuat pernyataan bersama di bawah nama Koalisi Internasional Setop Genosida di Palestina. Mereka menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mendukung Afrika Selatan dalam kasus tersebut.
“Kami mendesak negara-negara lain untuk memperkuat tuntutan yang disampaikan dengan tegas (oleh Afrika Selatan) ini dengan segera mengajukan Deklarasi Intervensi ke ICJ,” demikian pernyataan-bersama organisasi-organisasi tersebut, seperti dikutip Anadolu Agency, Kamis (11/1/2024).
Organisasi-organisasi yang menandatangani pernyataan-bersama itu tidak hanya berasal dari sesama negara Afrika atau negara-negara mayoritas Muslim. Ada pula yang datang dari kalangan komunitas Yahudi dan bahkan kelompok-kelompok warga Israel sendiri. Beberapa di antara organisasi pro-gugatan Afrika Selatan di ICJ itu adalah Nahostgruppe Mannheim (Jerman), Malcolm X Center for Self-Determination (AS), Islamic Human Rights Commission (Inggris), Israelis Against Apartheid (Israel), Jordanian Federation of Independent Trade Unions (Yordania), Mediciana Democratica (Italia), dan Institute for the Critical Study of Zionism.
Sekira 20 negara juga mendukung upaya Afrika Selatan di ICJ. Termasuk di antara para pendukung itu adalah Indonesia. “Secara moral dan politis, Indonesia mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan di Mahkamah Internasional atas dugaan genosida Israel di Gaza,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhamad Iqbal, dilansir Antara, Selasa (9/1/2024).
Iqbal menjelaskan, Indonesia secara hukum tidak bisa ikut menggugat Israel ke ICJ. Sebab, dasar gugatan yang dimaksud adalah Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948. Hingga saat ini, RI belum melakukan ratifikasi konvensi tersebut.
Meski begitu, Indonesia sedianya sudah mengadopsi definisi dari genosida yang dipahami dalam konvensi itu ke dalam undang-undang, yakni UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 8 beleid itu, dijelaskan bahwa kejahatan genosida adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.”
Hanya sesama negara peratifikasi Konvensi Genosida 1948 yang bisa menyeret satu sama lain ke ICJ. Kasus “Afrika Selatan vs Israel” ini juga berarti sejajarnya dua subjek di hadapan Mahkamah Internasional. Sebab, Afrika Selatan—tidak seperti Indonesia—termasuk negara yang mengakui eksistensi dan kedaulatan Israel sejak 1948. Begitu pula dengan Israel. Bahkan, pada 1950-an hingga 1960-an Tel Aviv mengutuk praktik apartheid di Afrika Selatan. Semua itu menjadi ironi ketika si pengutuk kini justru melakukan hal yang sama seperti yang dikutuknya dahulu.
Spirit Mandela
Sehari sebelum sidang di ICJ, puluhan warga Palestina berkumpul di depan patung Nelson Mandela di Tepi Barat. Mereka menyuarakan ucapan terima kasih kepada pemerintah dan rakyat Afrika Selatan karena telah membawa kasus dugaan genosida Israel di Jalur Gaza ke Mahkamah Internasional.
Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa itu mengusung poster bertuliskan “Hentikan genosida” dan “Terima kasih, Afrika Selatan.” Wali Kota Ramallah Issa Kassis tampak ikut berpartisipasi dalam aksi tersebut.
“Sangat penting untuk menunjukkan penghargaan kepada orang-orang yang memahami penderitaan kami. Kami merasa, Afrika Selatan mendengarkan isi hati kami,” ujar Issa Kassis usai menyampaikan pidato di hadapan massa, seperti dikutip laman Al Arabiya.
Patung Nelson Mandela yang menjadi titik kumpul para demonstran itu adalah satu dari sekian banyak bukti persahabatan antara Palestina dan Afrika Selatan. Patung setinggi enam meter tersebut didirikan pada 2016 atau sekira tiga tahun sesudah wafatnya Mandela. Ini sebagai hadiah dari Pemerintah Kota Johannesburg kepada Pemerintah Palestina. Usai menerimanya dengan baik, otoritas lokal lalu menempatkan patung itu di sebuah area strategis yang kini dinamai “Alun-Alun Mandela” di Kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa merupakan pemimpin partai politik yang berkuasa di Afrika Selatan kini, Kongres Nasional Afrika (ANC). Dalam sejarahnya, ANC memiliki riwayat yang jelas sebagai pendukung Palestina. Suatu langkah yang sejak awal ditegaskan Nelson Mandela, sosok yang memimpin parpol tersebut periode 1991-1997.
Bagi ANC dan para penerus legasi Mandela di Afrika Selatan, tidak ada bedanya antara praktik-praktik apartheid yang dilakukan rezim minoritas kulit putih dahulu di Afrika Selatan dan yang diterapkan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka juga tidak akan pernah melupakan kata-kata Mandela bahwa keberhasilan Afrika Selatan terbebas dari rezim apartheid “tidak akan lengkap tanpa kebebasan rakyat Palestina.”
“Pesannya adalah untuk mengingatkan mereka (rakyat Palestina) bahwa kami adalah sahabat Palestina selamanya. Palestina tidak sendirian,” kata Perwakilan Afrika Selatan untuk Palestina, Mvuyo Mhangwane, dilansir Anadolu.
Ketika masih berada dalam genggaman rezim apartheid, Afrika Selatan cenderung mesra dengan Israel. Namun, ANC sebagai gerakan politik anti-apartheid mengambil sikap melawan setiap bentuk penjajahan, termasuk yang dilakukan zionis di tanah Palestina. Mandela sendiri memiliki hubungan persahabatan dengan tokoh-tokoh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), utamanya Yasser Arafat (1929-2004).
Usai Pemilu 1994, ANC muncul sebagai parpol peraih suara terbanyak. Mandela naik menjadi presiden. Pada 15 Februari 1995, Afrika Selatan secara resmi membuka hubungan diplomatik dengan Palestina. Dalam berbagai kesempatan, sosok yang kini patungnya berdiri gagah di Ramallah, Tepi Barat, itu melakukan kunjungan kenegaraan ke Palestina maupun Israel. Ia pun mengimbau terciptanya perdamaian di antara kedua belah pihak yang berseberangan itu.
Pada 4 Desember 1997 di Hari Solidaritas Internasional dengan rakyat Palestina, Mandela mengatakan, “PBB bersikap keras terhadap apartheid, dan dalam beberapa tahun sebuah konsensus internasional terbentuk, yang kemudian membantu dihapuskannya sistem zalim ini. Namun, kita sangat tahu bahwa kemerdekaan kita tidak akan lengkap tanpa kemerdekaan rakyat Palestina.”
Kira-kira dua tahun kemudian, di forum internasional sang pejuang hak asasi manusia itu menyerukan, “Israel harus mundur dari seluruh kawasan yang dicaploknya dari Arab tahun 1967 dan, lebih khusus lagi, Israel harus menarik diri sepenuhnya dari Dataran Tinggi Golan, Lebanon Selatan, dan Tepi Barat.”
Merasa didukung negara-negara adidaya, utamanya AS, Israel tidak satu kali pun memedulikan suara Mandela. Bagi zionis, pejuang Afrika Selatan ini hanya satu dari sekian banyak figur yang patut dicitrakan sebagai “radikal”, “berbahaya”, atau bahkan “teroris.” Padahal, Afrika Selatan bersama dengan seluruh bangsa beradab semata-mata mengutuk penjajahan Israel, yang tidak henti-hentinya berupaya menghilangkan eksistensi Palestina dari peta bumi dan memori sejarah.
Bukan hanya Mandela. Suara-suara pro-Palestina juga muncul dari sejumlah tokoh bangsa Afrika Selatan lainnya. Di antara mereka adalah Desmond Tutu (1931-2021), seorang pastor yang juga peraih Nobel Perdamaian tahun 1984. Saat mengunjungi Baitul Makdis (Yerusalem) beberapa waktu sesudah pecahnya Intifadha Pertama (1987), Tutu menyesalkan tindakan brutal yang dilakukan otoritas Israel terhadap rakyat Palestina di tanah Palestina. Sikap demikian segera menyulut ujaran-ujaran kebencian dari orang-orang Israel terhadapnya. Bahkan, sebuah mural yang dibuat orang-orang tak bertanggung jawab pada dinding bangunan gereja Anglikan Santo George, Yerusalem Timur, menghina Tutu sebagai “babi-hitam Nazi.”
Pada 2005, sang pastor menulis di kata pengantar buku karya Michael Prior, Speaking the Truth: Zionism, Israel, and Occupation, “Pemerintah Israel seolah-olah memiliki hak istimewa sehingga dengan mengkritiknya, seseorang akan langsung dicap sebagai anti-Yahudi (anti-Semit). Orang-orang di AS takut untuk mengatakan bahwa ‘salah adalah salah’ karena lobi pro-Israel sangat kuat di sana. Demi Tuhan, ini adalah dunia milik Tuhan! Kita hidup di alam yang mengutamakan moral. Pemerintahan apartheid (di Afrika Selatan) saja dahulu tampak sangat kuat, tetapi kini sudah tidak ada lagi.”
Ada pula Ronnie Kasrils, seorang politikus kiri Afrika Selatan. Sebagai seorang keturunan Yahudi, Kasrils dengan lantang mengecam penjajahan Israel atas Palestina. Pada 2001, ia menyita perhatian dunia internasional melalui pernyataan yang bertajuk, “Deklarasi Hati Nurani oleh Masyarakat Afrika Selatan Keturunan Yahudi.” Di dalamnya, ia dan rekan-rekan mengutuk perlakuan Israel di wilayah pendudukan. Hingga kini, mantan menteri pertahanan era presiden Mandela tersebut aktif menyuarakan pentingnya “solusi dua negara” untuk menyudahi krisis Israel-Palestina.