Oleh: Hasanul Rizqa
Salah seorang alim yang masyhur dalam sejarah Islam adalah Imam Bukhari. Penulis Shahih al-Bukh ari itu lahir dan wafat pada bulan Hijriyah ini, Syawal, lebih dari 11 abad lalu. Walaupun pemilik nama lengkap Muhammad bin Ismail itu telah tiada, pengaruhnya amat besar hingga saat ini.
Sebab, Shahih karyanya merupakan kitab kedua, setelah Alquran, yang paling sering dirujuk umat Islam untuk menemukan dalil-dalil keagamaan. Dalam hasil jerih payahnya itu, Imam Bukhari mengumpulkan lebih dari tujuh ribu hadis Nabi Muhammad SAW. Ribuan teks sunnah Rasulullah SAW itu telah melalui seleksi amat ketat sehingga terjamin validitasnya.
Imam Bukhari lahir pada 13 Syawal 194 H di Bukhara, sebuah daerah di tepi Sungai Jihun, Uzbekistan. Kawasan yang dahulu bernama Transoxiana itu berada di antara dua sungai besar di Asia tengah, yakni Amu Darya dan Syr Darya. Selain ahli hadis ini, ada banyak ilmuwan Muslim yang bermunculan dari sana, semisal Abdul Rahim bin Ahmad al-Bukhari atau Abu Hafs al-Bukhari. Guru Imam Muslim ini wafat pada 1 Syawal 256 Hijriyah atau 1 September 870 Masehi.
Imam Bukhari berasal dari keluarga yang alim ulama. Ayahnya, Ismail, pernah berguru pada banyak cendekia, termasuk Imam Malik. Dari sang peletak dasar Mazhab Maliki tersebut, Ismail bin Ibrahim memperoleh banyak pengetahuan tentang hadis. Tidak mengherankan apabila di kemudian hari Bukhari mengikuti jejak orang tuanya itu dalam mengkaji sunnah Nabi SAW.
Terlebih lagi, Asia tengah pada masa Bukhari muda sangat kondusif sebagai tempat penyebaran ilmu-ilmu agama. Baik masyarakat maupun penguasa setempat begitu mendukung situasi intelektual. Dalam konteks demikian, putra Ismail bin Ibrahim itu tumbuh menjadi seorang pemelajar yang tekun.
Ia bukan hanya rajin, melainkan juga antusias dalam belajar. Sejak kecil, Bukhari telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Ketajaman ingatan dan daya hafalannya melebihi anak-anak seusianya. Saat berumur 10 tahun, ia menuntut ilmu kepada ad-Dakhili, seorang ahli hadis ternama. Tidak pernah sekalipun murid ini absen belajar dari sang guru.
Kira-kira satu tahun kemudian, Bukhari kecil semakin disiplin menghafal hadis-hadis Nabi SAW. Dan, proses belajarnya cukup intens walaupun berlangsung dalam durasi yang relatif lebih cepat dibanding teman-teman sebaya. Daya memorinya diakui banyak pihak, termasuk ad-Dakhili sendiri.
Karena itu, sang guru membolehkannya untuk mengoreksi beberapa kesalahan dalam penghafalan matan ataupun rawi hadis yang diucapkan peserta majelis. Saat genap berusia 16 tahun, Bukhari muda telah mengkhatamkan hafalan hadis-hadis yang termaktub dalam kitab karya Waki al-Jarrah dan Ibnu Mubarak.
Tentu saja, remaja nan cerdas ini tidak menuntut ilmu kepada seorang alim saja. Siapapun ulama yang dipandang masyarakat memiliki kapasitas dalam keilmuan hadis, maka mereka didatangi dan dijadikannya sebagai guru. Malahan, acapkali ia menimba ilmu dari kawannya sendiri. Dalam salah satu karyanya, Jami' ash-Shahih, Bukhari pernah mengungkapkan bahwa dirinya mengambil hadis dari lebih 1.080 orang pakar yang ditemuinya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, seluruh guru Imam Bukhari dapat diklasifikasi ke dalam lima tingkatan. Penulis Fathur Bari— kitab yang khusus menelaah Shahih Bukhari—tersebut mengelompokkan mereka secara berjenjang. Mulai dari kategori tabiin hingga kawan-kawan seangkatan Bukhari yang sama menekuni ilmu hadis. Al-Asqalani juga memuji deskripsi objektif yang dinyatakan sang imam mengenai guru-gurunya. Objektivitas itu dimaksudkan sebagai jalan untuk menentukan, apakah sebuah hadis yang didapatkannya bisa diterima atau tidak.
Imam Bukhari terkenal gigih dalam memburu hadis. Jika mendengar sebuah hadis, ia ingin mendapatkan keterangan langsung tentang teks sabda Rasulullah SAW itu secara lengkap. Berbagai tantangan diatasinya agar dapat bertemu dengan orang yang meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam mengumpulkan hadis-hadis, Imam Bukhari melanglang buana ke pelbagai negeri; mulai dari Asia tengah, Persia, Irak, Syam, Hijaz, Mesir, hingga Nubia (Aljazair). Dirinya pernah menetap di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah selama enam tahun. Pengembaraannya di Kufah atau Baghdad pun dilakukannya demi memperoleh keterangan perihal sunnah Nabi SAW. Tidak jarang, sosok yang lebih tua lima tahun dari Imam Muslim itu bolak-balik dari satu kota ke kota lainnya “hanya” demi mendapatkan informasi yang benar-benar valid atau mengecek sebuah hadis yang belum pernah didengarnya.
Perjalanan panjang melintasi daerah-daerah sekujur wilayah Kekhalifahan Abbasiyah tidak sekalipun menyurutkan semangatnya. Sebab, dalam dirinya sudah terpatri tekad untuk mencatat dan mempelajari sunnah Rasul SAW. Dari rihlah yang luar biasa itu, ia dapat mengumpulkan sedikitnya 600 ribu hadis atau bahkan satu juta hadis.
Dari angka tersebut, sebanyak 300 ribu di antaranya dihafal dalam ingatan. Hadis-hadis yang terekam dalam memorinya itu terdiri atas 200 ribu hadis yang tidak sahih dan 100 ribu hadis yang sahih. Jumlah yang demikian itu tidak lantas dimasukkan semuanya ke dalam Shahih Bukhari.
Dari 100 ribu hadis yang sahih, Imam Bukhari "hanya" mencantumkan sebanyak 7.275 hadis dalam kitab tersebut. Sekira tujuh ribu hadis itu telah melalui seleksi dan metode yang sangat ketat. Filter demikian diterapkan sang alim untuk benar-benar menjaga validitas atau periwayatan sabda Nabi SAW. Tidak mengherankan bila para ulama, baik yang sezaman maupun maupun era kini, menempatkan Shahih Bukhari sebagai kitab pertama dalam urutan kitab-kitab hadis yang muktabar.
Sebagai seorang mahaguru, Imam Bukhari pun menghasilkan begitu banyak karya tulis. Uniknya, kitab pertama yang ditulisnya bukanlah perihal ilmu hadis, melainkan sejarah Islam. Hal itu tertuang dalam bukunya, Qudhaya ash-Shahabah wa at-Thabi'in ('Peristiwa-peristiwa Hukum pada Masa Sahabat dan Tabiin'). Buah penanya itu diselesaikan tatkala dirinya masih muda, berusia 18 tahun.
Dalam umur itu pula, Imam Bukhari mulai menulis salah satu karyanya, At-Tarikh al-Kabir. Ia mengatakan, penulisan kitab itu bermula sesudah dirinya mengikuti ibadah haji. "Saat berusia 18 tahun, aku juga menulis kitab tentang sejarah. Waktu itu, aku sedang di dekat makam Nabi Muham mad SAW, tepat malam hari kala bulan purnama," katanya, seperti dinukil dari Tazkirah al-Huffazh. Selain At-Tarikh al-Kabir, ada pula At-Tarikh al-Awsath dan At-Tarikh as-Shaghir. Sayangnya, buku yang tersebut akhir itu telah punah, yakni tidak sampai utuh pada masa modern.
Dalam bidang hadis, karyanya yang selain Shahih adalah Adh-Dhu'afa ash-Shagir. Di dalamnya, Imam Bukhari menjelaskan para perawi hadis yang dinilainya berstatus dhaif. Nama-nama mereka disusun secara alfabetis Arab. Tentunya, dia pun memaparkan sebab-sebab mereka dinyatakan lemah dalam hal periwayatan hadis Nabi SAW. Kemudian, ada pula karyanya yang berbicara tentang akhlak Rasulullah SAW, yakni Al-Adab al-Mufrad. Kitab itu dicetak bersama dengan keterangan kritis (syarh). Pemberi syarh itu adalah Fadhlullah al-Jailani.
Akhirnya, magnum opus Imam Bukhari adalah Shahih-nya yang amat terkenal. Kitab itu berjudul lengkap: Al-Jami' ash-Shahih al-Musnad min Haditsi Rasulillah Shalallahu 'alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Bahkan hingga kini, buku tersebut menjadi rujukan kaum Muslimin sesudah Alquran. Sebab, tinggi kualitasnya dalam menerangkan hadis-hadis sahih—salah satu dasar agama Islam.
Imam Bukhari menjadi muhaddits yang termasyhur di antara para ahli hadis. Reputasinya berlanjut hingga era Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Dari sekian nama-nama tokoh besar itu, kalangan sejarawan acapkali menjuluki alim dari Bukhara tersebut sebagai Amirul Mukminin fii al-Hadits, "sang pemimpin kaum Mukmin dalam ilmu hadis." Sebab, berbagai ulama hadis—baik sezaman maupun yang datang sesudahnya—diketahui berguru kepadanya. Sebut saja, Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr, dan tentunya Imam Muslim.
Penulisan Shahih bermula dari nasihat seorang gurunya, Ishaq bin Rahawaih. Seperti diceritakan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam sebuah risalahnya, pada suatu hari Imam Bukhari mendatangi ulama kelahiran Khurasan, Persia, itu. Setelah berbincang-bincang, sang murid kemudian diberikan petuah. "Kiranya engkau mau mengumpulkan hadis-hadis sahih Nabi SAW secara bernas," kata Ibnu Rahawaih kepadanya.
Saran tersebut sangat menggugah hati Imam Bukhari. Baginya, penulisan karya itu adalah sebuah tantangan sekaligus jalan kebaikan, baik di dunia maupun akhirat. Sebab, ketika selesai nantinya, karya tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan yang kuat bagi kaum Muslimin hingga bergenerasi-generasi kemudian.
Maka, dimulailah penyusuann Shahih Bukhari olehnya. Selama 16 tahun, dirinya berusaha keras menyelesaikan kitab tersebut. Berbagai negeri didatanginya untuk mengambil hadis dan keterangannya yang benar-benar tersaring ketat dari banyak ulama setempat.
Menurut Ibnu Hajar, hadis-hadis yang termasuk dalam Shahih Bukhari hanya 2.761 yang bukan repetisi. Adapun yang lainnya adalah hadis pengulangan dalam beberapa tempat di buku yang sama. Ibnu Shalah mengatakan, hadis yang nonrepetisi itu sebanyak empat ribu hadis.
Secara umum, ulama-ulama hadis, baik dahulu maupun kini, memandang Shahih Bukhari bernilai paling tinggi dibandingkan kitab-kitab kumpulan hadis lainnya—termasuk yang dalam jajaran Kutubus Sittah. Hal ini disebabkan karakteristik kesahihan dalam legasi Imam Bukhari itu lebih sempurna. Demikian pula syarat yang diterapkannya—lebih ketat.
Alquran dan hadis merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam Islam, keduanya adalah sumber hukum dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, hadis merupakan penafsiran Alquran dalam praktik. Sebab, rujukannya ialah Nabi Muhammad SAW sendiri. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, surah al-Ahzab ayat ke-21, yang berarti, “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian.”
Secara kebahasaan, kata hadis berasal dari hadits dalam bahasa Arab. Syekh Manna al-Qaththan dalam Mabahits fii ‘Ulumil Hadits menjelaskan, hadits memiliki beberapa arti, yakni ‘baru’, ‘sesuatu yang dikutip’, serta ‘sesuatu yang sedikit dan banyak.’ Bentuk jamaknya ialah ahadits.
Secara terminologi, lanjut Qardhawi, hadits menurut para ahli hadis adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, dalam masa sebelum ataupun sesudah kenabiannya. Pengertian yang sedikit berbeda diajukan para ahli usul fikih.
Mereka berpandangan, hadis merupakan perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Apa-apa yang berasal dari beliau sebelum kenabian tidak bisa dianggap sebagai hadis. Sebab, yang dimaksud dengan hadis ialah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya.
Hadis dan Alquran pun berbeda dalam hal sejarah awal penulisannya. Sejak Nabi SAW menerima wahyu, sejumlah sahabat beliau menuliskan atau mencatat Alquran pada pelbagai alas tulis, semisal pelepah kurma, lembaran kulit ternak, batu, dan sebagainya. Sahabat-sahabat yang dikenal sebagai pencatat Alquran ialah Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, serta Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mereka ditugaskan Rasulullah SAW untuk menuliskan kalam Illahi sebagai ikhtiar dalam menjaga ingatan Muslimin. Dengan demikian, catatan dan hafalan Alquran secara langsung saling mendukung satu sama lain.
Kebalikan dari proses penulisan Alquran, Nabi SAW sempat melarang para sahabat untuk mencatat hadis-hadis. Informasi perihal pelarangan itu berdasar keterangan dari, antara lain, Abu Sa’id al-Khudri. Ia meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu sekalian menulis apa pun dariku. Dan, barangsiapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hapuslah” (HR Muslim).
Abu Hurairah dan beberapa Muslimin yang pandai menulis pun pernah ditegur Nabi SAW. “Apa yang telah kalian tulis?” tanya beliau.
“Hadis-hadis yang telah kami dengar darimu, ya Rasulullah,” jawab mereka.
“Kitab selain Kitabullah (Alquran)? Tidakkah kalian tahu, bahwa umat-umat sebelum kalian tidaklah tersesat kecuali karena telah menulis kitab-kitab bersama kitab Allah?” ujar Rasul SAW.
Maknanya, Rasulullah SAW saat itu belum merestui umat untuk menuliskan apa pun yang bersumber darinya selain Alquran.
Namun, Rasul SAW kemudian membolehkan penulisan hadis. Beberapa sahabat yang mendapatkan kebolehan itu ialah, antara lain, Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.
Putra Amr bin Ash itu menuturkan, “Aku telah mencatat segala yang kudengar dari Rasulullah SAW karena hendak menghafalnya. Begitu tahu tentang ini, kaum Quraisy melarangku seraya berkata, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu dari Rasulullah, sementara Rasulullah sendiri adalah manusia biasa yang bertutur baik saat marah dan ridha?’
Karena itu, aku sempat menghentikan aktivitas penulisan itu, tetapi kemudian menyampaikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau mengangguk dan mengarahkan jarinya pada mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sesuatu yang keluar dari sini (mulut Nabi SAW) kecuali kebenaran.’”
Sampai di sini, bagaimana memahami adanya hadis-hadis tentang pelarangan dan pembolehan menuliskan hadis itu? Para ulama menerangkan, kedua keterangan itu terjadi secara nasakh-mansukh. Hadis-hadis yang mengenai pelarangan dibatalkan (nasakh) oleh hadis-hadis yang membolehkan mencatat perkataan Nabi SAW. Pelarangan itu hanya berlangsung pada masa awal syiar Islam. Tujuannya menghindari bercampurnya teks Alquran dengan hadis.
Terlebih lagi, ketika pembolehan tersebut berlaku, jumlah Muslimin sudah meningkat signifikan. Dan, para penghafal Alquran pun kian banyak. Mereka umumnya sudah mampu membedakan antara kandungan Alquran dan perkataan Rasulullah SAW.
Pasca masa Nabi
Walaupun pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriyah. Waktu itu, Muslimin diperintah oleh Kekhalifahan Bani Umayyah. Raja kedelapan Dinasti Umayyah, Umar bin bin Abdul Aziz, mendukung upaya-upaya pembukuan sunnah.
Sang khalifah khawatir bilamana hadis-hadis Nabi SAW akan hilang dari peredaran kalau tidak segera dikumpulkan dan dibukukan. Terlebih lagi, banyak sahabat Rasul SAW dan penghafal hadis telah berpulang ke rahmatullah. Dengan wafatnya mereka, umat semakin memerlukan ikhtiar nyata agar hadis-hadis terpelihara dari ungkapan-ungkapan orang lain yang dikira bersumber dari Rasulullah SAW (hadis palsu).
Dengan dukungan alim ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Abu Bakar bin Muhammad, untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal. Di antaranya adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad—cucu Abu Bakar ash-Shiddiq. Keduanya adalah ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis, terutama dari riwayat ummul mukminin, ‘Aisyah. Seorang ulama lainnya, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, juga diminta untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal, tidak hanya di Hijaz tetapi juga Syam (Suriah). Dari generasi tabiin, az-Zuhri menjadi ulama pertama yang membukukan hadis.
Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai saat itu semakin berkembang. Selama abad kedua Hijriyah, cukup banyak ulama yang dikenal sebagai penghimpun hadis. Di antaranya adalah Malik bin Anas (Imam Malik), Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, Hammad bin Salamah al-Bashri, dan Sufyan ats-Tsauri. Antusiasme studi ilmu hadis pun menyebar ke pelbagai wilayah kedaulatan Islam, tidak hanya di Jazirah Arab, tetapi juga Mesir, Suriah, dan Irak.
Pada masa itu, penulisan hadis masih mencampurkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa para sahabat serta ulama tabiin. Sebagai contoh, kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Kitab-kitab hadis yang sezaman dengannya di kemudian hari disebut sebagai al-musnad atau al-mu’jam. Itu berarti, kitab-kitab itu disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW. Kategori demikian dinamakan pula al-jami’. Sebab, kitab hadis itu memuat delapan pokok masalah, yakni akidah, hukum, tafsir, etika, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela.
Barulah pada periode selanjutnya, yakni generasi tabiit tabiin, para ulama mulai memisahkan antara sabda Nabi SAW dan fatwa para sahabat serta tabiin dalam penulisan hadis. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan perkataan beliau, lengkap dengan periwayatan (sanad). Maka dari itu, karya-karyanya dalam disiplin ilmu hadis disebut pula sebagai musnad.
Dari generasi tersebut, seorang alim yang menulis genre musnad itu ialah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Ketekunannya menjadi teladan para ulama sesudahnya. Di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), Ishaq bin Rahawaih, Musa al-Abbasi, dan Musaddad al-Bashri. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal dipuji sebagai salah satu musnad terlengkap. Bagaimanapun, dalam penyusunannya Imam Hambali kerap mencampurkan hadis-hadis yang berstatus sahih, hasan, dan daif; bahkan ada di antaranya yang hadis palsu (maudlu').
Abad studi hadis
Memasuki abad ketiga Hijriyah, kalangan ahli sunah mulai berupaya memilah hadis sahih dari hadis-hadis lainnya. Malahan, banyak di antara mereka yang menyusun hadis-hadis sahih berdasarkan topik yang dibicarakan. Alhasil, periode ini juga dinamakan sebagai Abad Pembukuan Hadis (Tadwin).
Alim ulama pada masa tersebut memiliki reputasi besar dalam keilmuan hadis,bahkan hingga saat ini. Misalnya, Imam Bukhari, sang penyusun kitab Shahih al-Bukhari. Selanjutnya, Imam Muslim yang menyusun Shahih Muslim. Kemudian, ada lagi Imam Dawud, Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmidzi, dan Imam Nasa’i yang masing-masing berkarya Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasa’i. Terakhir, penulis Sunan Ibnu Majah yakni Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba'i al-Qazwini. Keenam kitab tersebut digelari generasi sesudahnya sebagai al-Kutub as-Sittah, Kitab Hadis yang Enam.
Dinasti-dinasti Muslim jatuh dan bangun. Pemerintahan berganti dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Akan tetapi, kegiatan penyusunan dan pembukuan hadis terus berlangsung dengan pesat. Setidaknya sejak abad kelima Hijriyah, makin banyak ulama menekuni bidang ini. Ada yang tetap menggunakan cara sebagaimana dipakai para penyusun al-Kutub as-Sittah. Namun, ada pula yang melakukan kritik terhadap metodologi ulama-ulama sebelumnya, baik dari segi matan maupun sanad. Minat yang besar terhadap studi ilmu hadis masih berlanjut hingga kini. Malahan, beberapa sarjana Barat non-Muslim pun tertarik mendalami sunah walaupun bertujuan tertentu.