Oleh: Hasanul Rizqa
Peringatan Hari Santri, yang berlangsung setiap tanggal 22 Oktober, telah ditetapkan sejak 2015 lalu. Momen tersebut—yang jatuh tepat pada hari ini—dapat menyegarkan kembali ingatan tentang peran kalangan pesantren dalam perjuangan Republik Indonesia.
Hari Santri 2023 mengambil tema “Jihad Santri Jayakan Negeri.” Menurut Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, pengertian jihad itu dapat dilihat secara kontekstual maupun historis. “Jihad santri secara kontekstual adalah jihad intelektual, di mana para santri adalah para pejuang dalam melawan kebodohan dan ketertinggalan,” kata Menag, seperti dikutip Republika dari laman Kementerian Agama (Kemenag), kemarin.
Adanya kelompok santri dan lembaga tempat mereka belajar—pesantren—menunjukkan kekhasan diseminasi pendidikan Islam di Asia Tenggara. Menurut Howard M Federspiel dalam buku The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, istilah pesantren cenderung populer dan diterima luas di Jawa-Madura. Adapun di Sumatra, misalnya, lembaga yang berciri sama dengan pesantren dinamakan sebagai surau atau meunasah (Aceh). Di ranah Melayu luar Indonesia, seumpama Malaysia atau Kamboja, istilah pondok lebih sering dijumpai. Masyarakat Filipina dan Singapura memakai istilah madrasah.
Dalam bukunya, Tradisi Pesantren (2011), Zamakhsari Dhofier menerangkan perihal genealogi istilah pondok pesantren. Pondok berasal dari kata funduq, yang dalam bahasa Arab berarti `asrama.' Sementara, kata pesantren memiliki akar kata santri.
Dhofier lalu mengutip pendapat beberapa ahli sejarah, semisal Profesor Johns yang menyebutkan, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti `guru.' Tak jauh beda dengan itu, filolog Belanda, CC Berg, menyebut bahwa santri berasal dari kata shastri atau cantrik dalam bahasa Sanskerta. Artinya, `orang yang mengetahui isi kitab suci' atau `orang yang selalu mengikuti guru.' Adapun M Chaturverdi dan BN Tiwari memandang, kata yang sama berasal dari shastra, yang berarti `buku.'
Pelbagai pemaparan tentang muasal istilah pesantren cenderung menegaskan cikal bakal lembaga itu tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan India. Di Indonesia, khususnya Jawa, dalam masa transisi sejak memudarnya pengaruh Hindu-Buddha hingga awal penyebaran dakwah Islam, para kiai semisal Wali Songo mengislamkan sistem lembaga pendidikan setempat, yang merupakan legasi kebudayaan dua agama “khas India” tersebut. Kemudian, para mubaligh Muslim tersebut mengembangkan sistem yang lebih islami, yakni pesantren, seperti yang kita kenal sampai sekarang.
Hasani Ahmad Said dalam artikelnya di Jurnal Ibda (Desember 2011) menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Sejumlah sejarawan menyebut eksistensi pesantren terlebih dahulu hadir sebelum kedatangan bangsa Eropa di Nusantara pada abad ke-16 M. Istilah pesantren merujuk pada tempat belajar bagi kaum intelektual Muslim yang dinamakan santri. Mereka mewarisi dan memelihara keberlanjutan tradisi keilmuan Islam yang dapat ditelusuri hingga generasi tabiut tabii, tabiin, para sahabat Nabi Muhammad SAW dan tentunya Rasulullah SAW sendiri.
Dalam sistem pendidikan pesantren, rentetan transmisi keilmuan (sanad) dipandang sangat penting. Sanad menunjukkan pentingnya otoritas dalam berilmu agama. Maka, bisa dipastikan, sosok kiai di pesantren mempunyai sanad dan kemudian mewariskan sanad itu kepada murid-muridnya—biasanya yang paling cemerlang.
Dalam corak pendidikan pesantren, terdapat beberapa ciri khas. Misalnya, adanya hubungan yang akrab antara kiai atau pendiri pesantren itu dan para santri. Kemudian, tiap warga pesantren menerapkan laku kehidupan yang sederhana atau mendekati zuhud, kemandirian, gotong royong, dan pemberlakuan syariat Islam. Selain itu, kehadiran mereka di tengah masyarakat bersifat mengayomi, alih-alih eksklusif dan berjarak.
Pesantren pun memiliki teknik atau metodologi pengajaran yang terbilang khas. Adanya sistem halaqah serta hafalan atas teks-teks dasar keilmuan agama, merupakan beberapa contoh. Zamakhsari Dhofier merangkum adanya lima unsur dasar dalam setiap pesantren, yakni asrama, masjid, para santri, pengajaran kitab-kitab kuning, serta figur sentral kiai. Ketokohan kiai itulah yang membuat sebuah pesantren menjadi ikon kota tempatnya berada.
Jaringan keilmuan Islam
Meskipun biasanya berbasis di perdesaan, pesantren memiliki jaringan keilmuan yang lintas mancanegara. Penyebabnya bisa dilacak hingga jaring ulama yang berkisar di Tanah Suci. Kontak ulama Nusantara dengan Tanah Suci, khususnya sejak abad ke-18 M semakin menggiatkan perkembangan pesantren. Dalam masa transisi abad ke-19 menuju abad ke-20 M, para haji Nusantara tidak sekadar beribadah rukun Islam yang kelima.
Sebagian dari mereka juga merupakan pembelajar yang telah lama tinggal di Makkah. Kota itu merupakan pusat dunia Islam sekaligus titik perjumpaan pelbagai gagasan yang menjadi arus besar dunia. Pada era tersebut, ide-ide modernisme Islam mulai masuk ke Nusantara, termasuk pesantren-pesantren. Pendidikan tradisional mulai perlahan-lahan dipadukan dengan metode pengajaran yang bersifat modern di sejumlah pesantren Jawa dan Sumatra saat itu.
Sebagai contoh adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Lembaga ini didirikan KH Hasyim Asy'ari pada 1899 M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menjelaskan, Pesantren Tebuireng masih mengikuti sistem pengajaran neoklasikal hingga tahun 1916 M. Isinya berupa metode-metode sorogan dan bendongan yang diikuti santri untuk mendapatkan ilmu dari para kiai. Namun, atas inisiatif KH Maksum, seorang menantu KH Hasyim Asy'ari, ada penambahan materi berupa matapelajaran ilmu-ilmu umum, semisal bahasa Melayu, matematika, dan geografi, untuk para santri Tebuireng.
Sepuluh tahun kemudian, muncul pula pelajaran bahasa Belanda. Sejak 1934 M, di pesantren ini didirikan sebuah madrasah. Kurikulum yang diterapkan di sana memiliki komposisi 70 persen mata pelajaran umum serta 30 persen sisanya adalah pelajaran agama Islam. Ini merupakan usulan dari KH Abdul Wahid Hasyim, yakni putra sang pendiri Tebuireng.
Pada awalnya, penerapan usulan tersebut mendapatkan cukup tentangan dari sejumlah kiai sepuh. Namun, para orang tua santri merasakan manfaatnya bagi kemajuan dan keluasan wawasan santri. Maka, sistem itu pun jalan terus.
Contoh lainnya mengenai pesantren yang memadukan unsur modern dengan tradisional adalah Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Sejak awal berdirinya, pondok pesantren ini menggunakan model madrasah dalam pesantren. Lembaga ini berdiri pada 1926 atas inisiatif tiga bersaudara, yakni KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi.
Pada mulanya, lembaga ini bernama Tarbiyatul Athfal (TA). Lalu, pada 1932 berdiri sebagai lanjutan dari TA itu Sullamul Mut'allimin (SM). Berikutnya, pada 1936 didirikanlah Madrasah Tsanawiyyah yang menjadi Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah. Di Gontor, para santri mempelajari ilmu-ilmu umum sekaligus ilmu-ilmu agama dengan disiplin yang ketat sehingga membangun mental yang tangguh.
Masih dalam kajian disertasi Shaleh Putuhena (2007), ada pula pesantren yang memadukan unsur keilmuan akademis dengan keterampilan hidup. Pada 1932, Abdul Halim Majalengka mendirikan Santi Asrama. Pesantren ini terbilang menarik lantaran tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Di sini, ada juga pengajaran ilmu- ilmu pengetahuan umum serta keterampilan praktis, semisal perkebunan, pandai besi, dan pengukiran kayu. Putuhena menduga, Abdul Halim Majalengka merupakan ulama yang pertama kali menerapkan model pesantren kerajinan di Indonesia.
Sebagai informasi, sosok tersebut masih satu angkatan dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, serta tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Chasbullah. Mereka bertiga sewaktu merantau di Makkah pernah berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sang alim merupakan ulama Nusantara yang kala itu menjadi seorang imam Masjidil Haram. Melalui Syekh al-Minangkabawi pula, ide-ide modernisme Islam diperkenalkan secara kritis kepada para pelajar Jawi yang sedang bermukim di Tanah Suci.
Berjuang di garda terdepan
Jihad yang dilakukan para kiai dan santri tidak hanya berbatas pesantren tempat mereka menyelami ilmu-ilmu Islam. Perjuangan itu pun mengemuka dalam hubungan mereka dengan masyarakat, bangsa, dan umat Islam umumnya. Peneliti Asia Tenggara, Harry J Benda, dalam bukunya, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation bahkan menyebut, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri serta pengaruh mereka bagi kehidupan keagamaan, sosial, dan politik.
Kalangan pesantren berjuang di garda terdepan dalam melawan penjajahan. Setidaknya sejak awal abad ke-20 M, kolonialisme semakin sistematis dalam menindas rakyat Indonesia—kala itu disebut Hindia Belanda. Di bidang pendidikan Islam, pesantren memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan spiritual dan ideologis untuk kaum Muslimin membendung pengaruh buruk rezim kolonial.
Pada 1942, Belanda yang menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya ternyata kalang kabut akibat serbuan lawan dari luar. Dari arah utara, tentara pendudukan Jepang datang dan berupaya merebut Indonesia. Sejak Maret tahun itu, Dai Nippon menggantikan Belanda sebagai penjajah baru.
Sebagai siasat awal, Jepang merangkul tokoh-tokoh dari kalangan umat Islam yang selama ini dipinggirkan pemerintah kolonial Belanda. Banyak di antara mereka yang merupakan kaum ulama dengan basis pengikut di pesantren-pesantren.
Namun, berselang satu atau dua tahun sejak masuknya Jepang, umat Islam merasakan situasi yang tertekan. Kondisinya tidak jauh berbeda—atau bahkan lebih buruk—bila dibandingkan dengan dahulu, ketika masih di bawah rezim kolonial Belanda. Sejumlah pesantren pun menggelorakan perlawanan.
Perjuangan anti-penjajahan Jepang terjadi, semisal di Desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya. Pondok pesantren setempat, Sukamanah, dipimpin seorang kiai muda nan karismatik, KH Zaenal Mustafa. Usianya “baru” 26 tahun ketika mendirikan lembaga pendidikan Islam tersebut.
Perjuangannya telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan, pada November 1941 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah kolonial. Dengan datangnya pasukan Jepang ke Indonesia, nama sang kiai pun termasuk dalam daftar tahanan yang dibebaskan.
Bagaimanapun, sikap Kiai Zaenal Mustafa tetap kritis terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Salah satu tekanan yang dilancarkan Nippon terhadap Muslimin Indonesia adalah kewajiban seikerei. Ritual itu berarti penghormatan kepada Dewa Matahari dengan cara orang-orang membungkukkan badan tiap pagi ke arah timur atau Negeri Jepang. Seperti umumnya para alim ulama, Kiai Zaenal menolak keras perintah seikerei itu.
Pada Jumat 25 Februari 1944, sang kiai memimpin para santri Sukamanah dan masyrakat Muslim sekitar untuk melawan pemerintah pendudukan Nippon. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pertempuran Singaparna. Sebanyak 86 santri gugur dan ratusan orang ditangkap. Kiai Zaenal turut dibawa ke Jakarta untuk diadili dan akhirnya dieksekusi pada 25 Oktober 1944.
Sesudah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kalangan pesantren semakin merapatkan barisan untuk membela kedaulatan RI. Belanda kemudian datang dengan “menumpang” pada pihak Sekutu, yang berkepentingan di Indonesia untuk membebaskan tentaranya yang ditahan Jepang. Berbeda dengan itu, Belanda melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA) hendak memulihkan penjajahan atas Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, sejumlah pasukan Belanda mengibarkan bendera kebangsaannya di depan publik Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan dalih memperingati hari kelahiran Ratu Belanda. Hal itu kian membuat geram rakyat dan para tokoh setempat, termasuk kalangan ulama.
Situasi kian memanas. Pada 19 September 1945, terjadi insiden Hotel Yamato. Rakyat Surabaya, utamanya para pemuda, berdatangan ke sana lantaran melihat bendera kebangsaan Belanda berkibar di pucuk bangunan hotel tersebut. Inilah tandanya tentara Belanda sama sekali tidak menghormati fakta historis bahwa RI telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Keributan tak terhindarkan. Seorang kader Pemuda Anshor, Cak Asy'ari, berupaya mencapai ketinggian Hotel Yamato. Lantas, ia berhasil mencapai tiang bendera. Diambilnya bendera Belanda dan merobek bagian berwarna biru dari kain bendera tersebut. Merah-Putih pun kembali berkibar.
Hingga akhir September 1945, situasi di Surabaya betul-betul di atas ambang emosi. Laskar rakyat terus berupaya mengambil alih persenjataan dari gudang-gudang yang dijaga sisa-sisa tentara Jepang. Di antara pergerakan bersenjata itu adalah Barisan Hizbullah dan Sabilillah yang terus melakukan konsolidasi untuk mempersiapkan strategi terbaik. Kedua laskar tersebut merupakan wadah perjuangan fisik umat Islam, khususnya kaum santri, di zaman mempertahankan kemerdekaan.
Situasi kian memanas. Sejak 15 Oktober 1945, pecah pertempuran lima hari di Semarang, Jawa Tengah, antara sisa-sisa pasukan Jepang dan laskar rakyat setempat. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 22 Oktober, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar rapat konsolidasi se-Jawa dan Madura di Surabaya. Hasilnya mengukuhkan Resolusi Jihad, yang merupakan penguatan atas fatwa yang pada 17 September 1945 telah dikeluarkan Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, sang pendiri NU.
Memasuki November 1945, situasi semakin mendekati perang besar. Inilah pertaruhan eksistensi Republik Indonesia, yang memproklamasikan kemerdekaannya bukan lantaran hadiah penjajah, melainkan perjuangan mati-matian dengan darah dan air mata para pahlawan.
Pada 7-8 November 1945, Resolusi Jihad yang digaungkan pertama kali oleh KH Hasyim Asy'ari dikukuhkan dalam konteks yang lebih luas, yakni Kongres Umat Islam (KUI) di Yogyakarta. Ini juga sebagai respons atas ultimatum Sekutu.
Sehari sebelum pecah pertempuran akbar di Surabaya, KH Hasyim Asy'ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Perintahnya jelas: tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan RI.
KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Di antara para komando resimen yang membantu KH Abbas adalah sebagai berikut. KH Abdul Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Roeslan Abdulgani, KH Mas Mansur, dan Doel Arnowo.
Bung Tomo berpidato dengan disiarkan melalui jaringan radio. Pidatonya itu begitu membakar semangat juang rakyat Indonesia yang sedang membuktikan jihad fisabilllah mempertahankan kedaulatan Indonesia sampai titik darah penghabisan. Menutup orasinya, Bung Tomo mengumandangkan pekik takbir: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Demikianlah, tanggal 10 November 1945 akan selalu dikenang sebagai Hari Pahlawan Nasional. Resolusi Jihad yang digagas KH Hasyim Asy'ari menandakan ketegasan kalangan santri, serta umat Islam Indonesia pada umumnya, untuk tulus berjuang demi kemerdekaan negeri ini.
Ketulusan hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Pada hari itu, ribuan pejuang menemui syahid. Namun, kekuatan laskar rakyat berhasil mengacaukan strategi Tentara Sekutu. Tercatat, saat itu tiga unit pesawat tempur RAF Inggris jatuh ditembak laskar rakyat Indonesia.
Hari Santri, yang kita peringati sekarang, merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 tersebut. Resolusi ini berisi seruan kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan penjajah, hingga memuncak pada perlawanan 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.