Oleh: Hasanul Rizqa
Mali adalah sebuah negara di Afrika barat yang merdeka dari jajahan Prancis pada 1960. Jauh berabad-abad silam, republik itu merupakan pusat dari sebuah imperium Muslim yang makmur. Kerajaan Islam ini dipimpin Dinasti Malinke, yang menggelari raja-raja mereka dengan sebutan mansa.
Imperium Mali berdiri sejak kira-kira tahun 1230 Masehi. Daulah Muslim ini mencapai masa kejayaan sejak awal abad ke-14 M. Raja yang membawa kemajuan bagi negeri ini ialah Mansa Musa.
Raja ke-10 dalam trah Dinasti Malinke itu bahkan didaulat sebagai manusia terkaya yang pernah tercatat dalam sejarah dunia. Ia mewarisi banyak sifat baik dari leluhur Malinke, Sundiata Keita. Tidak hanya memerintah dengan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan, dirinya pun mendukung perkembangan syiar Islam. Baik kalangan elite maupun rakyat setempat sangat menghormatinya.
“Sang pemilik Ladang Emas Wangara”, demikian julukannya, juga dicintai masyarakat Mali karena kepribadiannya yang dermawan, tegas, dan adil. Reputasinya tidak hanya dikenal di kawasan Afrika barat, tetapi juga Arab dan Eropa.
Musa lahir pada 1280. Tidak banyak yang bisa diketahui dari masa kecilnya. Ayahnya, Faga Laye, merupakan pejabat di birokrasi. Hingga masa dewasanya, Musa terus berkarier di lingkaran pemerintahan hingga namanya diangkat menjadi kepala daerah oleh Mansa Sakura.
Mansa Sakura adalah raja Mali yang memerintah antara tahun 1298 dan 1308 M. Walaupun tidak berasal langsung dari trah Sundiata Keita, Sakura dihormati seluruh rakyat sebagai seorang pemimpin yang berhasil memakmurkan negeri. Pada masa pemerintahannya, wilayah Mali mencakup hingga Timbuktu.
Mansa Sakura wafat dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Penggantinya dipilih dari seorang trah Sundiata yang bernama Muhammad. Tidak banyak catatan mengenai dirinya.
Penerus Muhammad bernama Mansa Qu. Raja yang berjulukan Abu Bakar II itu dikenang sebagai pemimpin yang ambisius. Salah satu ambisinya ialah menguasai negeri di “ujung lautan”, yakni lepas pantai Afrika Barat dan nun jauh di seberang Samudra (Atlantik).
Sebuah manuskrip, sebagaimana diteliti al-Umari, memuat komentar Mansa Musa tentang Mansa Qu alias Abu Bakar II, “Penguasa sebelumku (Abu Bakar II) tidak percaya bahwa mustahil mencapai titik terjauh Samudra yang mengelilingi Bumi (maksudnya, Samudra Atlantik –al-Umari). Ia berambisi sampai ke sana dan terus menerus berupaya untuk itu.”
Masih dalam penuturan Mansa Musa, Abu Bakar II sampai-sampai mengerahkan 200 unit kapal, yang masing-masing diisi para prajurit terbaik. Sebagai perbekalan, sang raja menyediakan ratusan kilogram emas, air minum, makanan, persenjataan, dan berbagai perlengkapan lainnya yang ditaksir mencukupi kebutuhan satu tahun pelayaran. Laksamananya diperintahkan untuk tidak kembali sebelum berhasil mendarat di ujung barat Samudra Atlantik.
Cukup lama Abu Bakar II menanti. Akhirnya, satu dari 200 kapal itu kembali ke Mali. Di hadapannya, seorang kapten kapal mengabarkan adanya pusaran besar yang menghisap nyaris seluruh armada, termasuk si laksamana. Kapten tersebut berkata, satu-satunya yang dapat menghindar dari bahaya itu ialah kapal yang ditumpanginya.
“Namun, Raja (Abu Bakar II) tidak mempercayainya. Segera saja, ia mengerahkan armada yang lebih besar, sekitar dua ribu kapal yang lengkap dengan perbekalan dan awaknya. Ia menugaskan saya untuk memimpin negeri (Mali) selama dirinya mengikuti pelayaran itu. Saya melepasnya pergi di pantai. Jangankan kembali, kabar tentangnya pun tak pernah terdengar lagi sesudah itu,” cerita Mansa Musa dalam manuskrip, yang dikutip al-Umari.
Apakah Abu Bakar II berhasil mencapai titik paling barat di seberang Samudra Atlantik—yakni Benua Amerika? Jawabannya masih menjadi kontroversi di kalangan sejarawan dan arkeolog. Profesor Ivan van Sertima dari Rutgers University, misalnya, menduga raja Mali tersebut sukses melakukannya. Namun, umumnya ilmuwan meragukan klaim-klaim bahtera milik sang pendahulu Mansa Musa itu tiba di pantai Amerika.
Menjadi pemimpin
Keadaan vakum kepemimpinan membuat Musa didaulat menjadi raja baru Mali. Pengangkatannya mengawali babak baru dalam sejarah pemerintahan negeri Islam itu. Sebab, takhta kembali diduduki seorang yang keturunan Sundiata Keita.
Di antara sumber-sumber utama tentang riwayat Mansa Musa ialah historiografi karya sejarawan Arab kelahiran Syam, Syihabuddin al-Umari (1301-1349). Menurut al-Umari, Musa merupakan seorang pemimpin Muslim yang alim dan saleh. Raja Imperium Mali itu berkomitmen dalam menyebarluaskan agama tauhid di seluruh wilayah kekuasaannya. Baginya, “Islam merupakan pintu masuk menuju dunia yang beradab.”
Masih dalam penuturan al-Umari, penguasa berkulit gelap itu berhasil membawa Mali ke masa gemilang. Selama 25 tahun memerintah negerinya, ia sukses meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya. Pada abad ke-14, ketika Eropa mengalami stagnan dan bahkan diterpa wabah pes “Kematian Hitam” (The Black Death), Kerajaan Mali sedang menikmati kemakmuran sangat luar biasa. Pujian itu tidaklah berlebihan. Sebab, kerajaan Islam di Afrika barat ini menghasilkan komoditas yang amat berharga: emas.
Sesungguhnya, bukan hanya Mali, tetapi juga seluruh region Afrika barat. Sejak ratusan tahun silam, kawasan ini dikenal sebagai penghasil emas—bahkan hingga kini. Sebelum Mali, sudah ada Kerajaan Ghana sempat berjaya berkat tambang-tambang emas di sekitar Sungai Niger. Namun, Ghana merasakan dampak besar dari penggurunan (desertification) pada awal abad ke-13 M. Barulah pada zaman sesudahnya, terutama di bawah kendali Mali, pusat-pusat penambangan emas kembali hidup dan merebak.
Bermodal macam-macam “gunung” emas itu, Musa membangun berbagai infrastruktur di daerah-daerah kekuasaannya. Seperti penguasa Muslim pada umumnya, fokus pembangunannya terutama pada masjid, madrasah, dan pasar. Dua kota terpenting Mali, Gao dan Timbuktu, disulapnya menjadi mercusuar-mercusuar peradaban Islam. Timbuktu menjadi tempat berdirinya Madrasah Sankore yang legasi kejayaannya masih dapat dijumpai hingga kini.
Tentunya, ibu kota tidak luput dari perhatiannya. Di Niani, Mansa Musa membangun sebuah istana besar, yang menghadap alun-alun luas. Pada masa kekuasaannya, Mali memiliki tak kurang dari 400 kota besar. Masyarakat setempat hidup dalam budaya urban yang terbuka dan berwawasan kosmopolitan.
Rihlah haji yang menakjubkan
Pada 1324, Mansa Musa melaksanakan haji ke Baitullah. Sebelum memulai rihlah tersebut, ia menugaskan putranya, Magha Keita, untuk memimpin Mali selama dirinya berada di luar negeri. Al-Umari menceritakan misi ibadah itu dengan cukup perinci. Persiapan dilakukan selama sembilan bulan berturut-turut. Pada bulan ke-10, sang raja dan istrinya, Inari Kanute, pun memulai perjalanannya untuk mengamalkan rukun Islam kelima.
Menurut al-Umari, ribuan orang mengikuti rombongan Musa. Di antaranya adalah para budak, prajurit, jenderal, dan menteri tepercaya. Masing-masing menunggangi unta atau hewan ternak lainnya. Tiap kereta tidak hanya mengangkut macam-macam perbekalan, seperti bahan makanan, minuman, pakaian, dan tenda.
Sebagai pemilik ladang-ladang emas, Mansa Musa tentunya tidak lupa untuk membawa logam mulia, baik dalam bentuk koin, bongkahan, ataupun batang. Dari seluruh 100 ekor unta yang dibawanya, masing-masing memboyong peti-peti berisi emas. Dari total 500 budak miliknya yang turut serta dalam perjalanan haji ini, setiap orang menggotong puluhan kotak yang diisi penuh emas.
Untuk sampai ke Makkah al-Mukarramah, Musa memerlukan waktu lebih dari satu tahun. Pada Juli 1324, ia dan para pengikutnya tiba di Mesir. Mereka mendirikan tenda di sekitaran Kairo, tak jauh dari kompleks Piramida. Kedatangan sang penguasa Mali itu menyebabkan kehebohan di seluruh penjuru kota. Berbondong-bondong warga lokal ingin menjumpainya. Sebab, mereka mendengar kabar bahwa raja Muslim tersebut adalah seorang yang dermawan.
Mesir saat itu dikuasai Dinasti Mamluk. Sultan Mesir menyambutnya dengan penuh penghormatan. Begitu melihatnya, Musa memberi isyarat agar penguasa Mamluk itu tidak usah membungkukkan badan kepadanya. “Hanya kepada Allah-lah, rukuk dan sujud dilakukan seorang insan,” katanya. Tiga bulan lamanya pemimpin Mali itu singgah di Kairo. Sebagai rasa terima kasih, Musa memberinya hadiah sebanyak 50 ribu dinar dan ribuan batang emas. Sedekah emas juga dilakukannya kepada seluruh penduduk Kairo.
Para pedagang setempat memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Mereka sengaja menaikkan harga barang kepada anggota rombongan raja Mali tersebut. Sebagai contoh, barang yang sebenarnya dihargai 1 dinar, maka naik menjadi 10 dinar. Namun, kenaikan harga bukanlah masalah bagi Musa dan rombongannya.
Bahkan, para calon jamaah haji asal Mali itu berbelanja dengan royal di pasar-pasar Mesir. Para pemilik toko di sana kebanjiran untung berlipat ganda. Begitu murah hatinya penguasa yang berjulukan “Sang singa Mali” itu dalam bersedekah. Sampai-sampai, Mesir mengalami surplus logam mulia. Nilai emas di sana sempat anjlok drastis hingga 25 persen selama beberapa tahun sesudah kedatangannya.
Sifat murah hati juga ditunjukkan Mansa Musa di Madinah dan Makkah. Di dua kota suci tersebut, ia memberikan hadiah berupa emas kepada masyarakat setempat. Kesempatan menjejakkan kaki di Tanah Suci tidak hanya dimanfaatkannya untuk berhaji. Melalui pejabat kota setempat, dirinya mengajak sejumlah ulama lokal, khususnya yang keturunan Nabi Muhammad SAW, agar bersedia mengikutinya ke Mali.
Sebab, negeri di Afrika Barat tersebut sedang bertransformasi menjadi salah satu pusat peradaban dunia Islam. Untuk itu, kehadiran dai-dai yang alim dan berwawasan luas sangat dibutuhkan. Akhirnya, beberapa orang ulama keturunan Rasulullah SAW menerima tawaran itu. Betapa gembiranya hati Raja Musa. Hingga kini, para pendakwah Islam di negara Mali dan sekitarnya merupakan anak cucu ulama-ulama yang diboyong sang raja pada abad ke-14 itu.
Tidak hanya pendidik, Musa juga berhasil mengajak seorang arsitek Arab kelahiran Granada (Spanyol) untuk tinggal bersamanya di Mali. Abu Ishaq Ibrahim, demikian namanya, belakangan dikenal dengan julukan al-Sahili. Berbagai masjid dan bangunan publik dirancangnya untuk Musa. Masjid Raya Timbuktu merupakan salah satu karya monumentalnya.
Perjalanan pulang ternyata berlangsung lebih menantang. David Conrad dalam Empires of Medieval West Africa (2005) mengatakan, Musa dan ribuan pengikutnya sempat tersesat di gurun sebelum mencapai Kairo. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, rombongan tersebut akhirnya tiba di pantai Suez.
Mereka memakan apa pun yang berhasil ditangkap dari lautan. Banyak anggota regu yang kemudian berpencar terlalu jauh. Sebagian besar tidak kembali, diduga karena diculik dan lalu dijual sebagai budak oleh suku-suku badui padang pasir. Menurut Conrad, hanya sepertiga dari seluruh rombongan penguasa Mali yang selamat kembali ke rumahnya.
Cerita tentang Raja Musa naik haji masih populer hingga kini. Hal itu menunjukkan sosok penguasa Muslim yang memiliki begitu banyak harta. Bahkan, para peneliti modern mengakui Mansa Musa sebagai orang paling kaya di sepanjang masa.
Menurut profesor sejarah dari University of California Rudolph Butch Ware, kedermawanan sang penguasa Mali itu bahkan “menghancurkan” perekonomian sebuah negeri. Dalam arti, nilai emas di Mesir sempat merosot beberapa tahun lamanya karena nyaris semua orang setempat memiliki lebih banyak logam mulia hasil pemberian dari Musa.
“Jumlah kekayaan Musa jika dihitung di masa kini sungguh luar biasa sampai-sampai hampir mustahil untuk benar-benar memahami betapa kaya dan berkuasanya ia saat itu,” ujar Butch Ware, dilansir BBC.
Umumnya sejarawan sepakat, Mansa Musa wafat beberapa tahun sesudah kepulangannya dari Tanah Suci. Kematiannya menyisakan duka bagi seluruh negeri. Sekitar 100 tahun sesudahnya, Mali mengalami kemunduran. Bahkan, Timbuktu lepas dari kendalinya sejak 1433. Imperium Songhay tampil sebagai pengganti kedaulatan Mali di Afrika Barat.