Oleh: Hasanul Rizqa
Ramadhan adalah bulan perjuangan. Itu tecermin pada berbagai peristiwa menjadi tonggak sejarah perjalanan umat Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, misalnya, Perang Badar dan Pembebasan Makkah terjadi pada bulan puasa.
Adapun pada kurun zaman sesudah wafatnya Rasulullah SAW, beberapa momen historis juga bertepatan dengan Ramadhan. Di antaranya adalah Perang Ain Jalut. Pertempuran ini memperhadapkan antara kaum Muslimin dan bangsa Mongol yang agresor.
Dalam palagan itu, umat Islam direpresentasikan oleh Dinasti Mamluk Bahriyah yang berpusat di Kairo, Mesir. Sementara itu, kubu musuh dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu Jenghis Khan sang pendiri Imperium Mongol (1206-1294).
Sejak awal abad ke-13 M, Mongol menjadi ancaman besar bagi umat. Puncaknya adalah kejatuhan Baghdad. Pada Februari 1258, balatentara Hulagu Khan membumihanguskan pusat Kekhalifahan Abbasiyah itu. Ratusan ribu Muslimin dibantainya. Kota Seribu Satu Malam—yang telah berabad-abad lamanya menerangi peradaban dunia—seketika menjadi kota mati.
Maka, kemenangan dalam Perang Ain Jalut amatlah berarti bukan hanya bagi umat Islam. Seandainya pasukan Muslimin yang dipimpin Sultan Mamluk Bahriyah, Saifuddin Quthuz, tidak mampu menghalau balatentara Hulagu Khan, peradaban dunia akan sangat berbeda, tidak menjadi seperti saat ini.
Ya, Ain Jalut menjadi titik balik sejarah. Untuk pertama kalinya, Mongol menderita kekalahan telak sehingga tidak mampu membalas. Di lembah tersebut, pupuslah mitos bahwa agresi yang dilakukan bangsa dari Asia Timur itu tidak terbendung.
Usai mengantisipasi bahaya Mongol, Mamluk Bahriyah juga berperan penting dalam menggerakkan jihad untuk mengusir Tentara Salib. Pada 590 H/1291 M, pasukan yang dikomandoi Sultan Quthuz berhasil membebaskan Syam dari cengkeraman penjajah tersebut. Kerajaan Latin Yerusalem pun dapat dikuasainya. Sesudah itu, kawasan Mediterania timur kembali berada dalam kendali Muslim. Termasuk di dalamnya adalah Baitul Makdis.
Mulanya dinasti
Awal kelahiran Dinasti Mamluk Bahriyah tidak terlepas dari senjakala Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Itu terjadi sesudah wafatnya sultan Shalahuddin al-Ayyubi pada 1193 M. Memasuki abad ke-13, kekuasaan wangsa tersebut di negeri delta Sungai Nil kian diwarnai intrik politik yang gawat.
Antara tahun 1240 dan 1249, Sultan as-Shalih Ayyub menjadi penguasa Ayyubiyah. Semasa berkuasa, ia membina para budak (mamluk) dari Asia barat. Para hamba sahaya itu sejak masih berusia muda sudah dibinanya agar menjadi prajurit-prajurit tangguh di kemudian hari. Mereka ditempatkan di sebuah pulau yang berada dekat muara Sungai Nil, yakni Pulau Raudhah. Di sana, sang raja membangun pusat-pusat pelatihan militer, ketangkasan, balai pendidikan, serta barak-barak sebagai tempat tinggal mereka.
Dengan demikian, para mamluk yang direkrut as-Shalih Ayyub hidup terisolasi dari umumnya masyarakat lokal. Saat dewasa, walaupun statusnya sudah merdeka, mereka menjadi tentara yang sangat terlatih dan setia pada atasan. Banyak di antaranya yang diangkat menjadi panglima. Karena semasa kecil hingga remaja ditempatkan di sebuah pulau, kalangan tersebut juga dikenal dengan sebutan “para budak lautan” atau al-mamalik al-bahriyyah. Dari situlah, nama Dinasti Mamluk Bahriyah berasal.
Pada 1249, as-Shalih Ayyub gugur dalam sebuah perang melawan Tentara Salib di Dimyath. Untuk menjaga semangat juang pasukan Muslimin, istrinya yang bernama Syajar ad-Dur menyembunyikan berita tentang kematian sang suami. Kemudian, wanita yang sesungguhnya berdarah non-ningrat itu mengangkat dirinya sendiri sebagai kepala pemerintahan de facto Ayyubiyah. Selama 80 hari, dinasti tersebut dipimpin oleh seorang ratu.
Meskipun terus dirahasiakan, kabar wafatnya as-Shalih Ayyub akhirnya bocor juga. Putra mahkota almarhum, Turansyah, lantas bertolak dari Syam—tempatnya bertugas sebagai gubernur—ke Mesir untuk mengambil haknya atas takhta. Namun, sesampainya di lembah Sungai Nil anak tiri Syajar ad-Dur itu dibunuh sekelompok orang. Kuat dugaan, mereka adalah orang suruhan sang ratu.
Saat memimpin Mesir, Syajar ad-Dur melakukan berbagai kebijakan politik. Misalnya, menetapkan gelar Malikat al-Muslimin atau ratunya umat Islam untuk dirinya sendiri. Tidak ingin konfrontatif, ia masih memanfaatkan pamor suaminya yang berdarah biru untuk melegitimasi kekuasaan. Karena itu, dalam koin dinar yang diproduksi pada masanya masih tercantum nama as-Shalih Ayyub.
Kepemimpinan Syajar ad-Dur di Mesir mengundang kritik. Di Baghdad, khalifah Abbasiyah al-Musta’shim Billah sampai-sampai bersurat kepada masyarakat Mesir. Katanya, apakah tidak ada satu lelaki pun yang kompeten di Ayyubiyah sehingga mereka menjadikan seorang perempuan sebagai pemimpin?
Menanggapi surat tersebut, Syajar ad-Dur kemudian menjalankan taktik, yaitu menikah dengan seorang petinggi negeri. Pilihannya jatuh pada Izzuddin Aybak. Dalam rencananya, sang suami berperan sebagai raja, tetapi dengan kekuasaan simbolis belaka. Jalannya pemerintahan atas Negeri Ayyubiyah tetap berada di tangannya.
Sebelum “pernikahan politik” itu, Izzuddin Aybak sebenarnya telah memiliki seorang istri yang bernama Umm Ali dan seorang putra. Wanita itu kemudian diceraikannya sehingga terjadilah perkawinan dengan sang ratu Mesir. Begitu menikah dengannya, Syajar ad-Dur terus memaksa Aybak untuk tidak lagi memikirkan Umm Ali dan anak kandungnya. Tidak ingin tunduk begitu saja, pria yang pernah menjadi komandan perang di Syam tersebut berencana menikah untuk kali ketiga. Bekas istri as-Shalih Ayyub itu lantas menganggap, keinginan tersebut adalah isyarat ancaman untuk menggulingkan kekuasaannya.
Makin hari, pertentangan antara keduanya semakin tampak di hadapan publik. Karena tidak tahan lagi, Syajar ad-Dur kemudian berencana membunuh suaminya. Dan skenario pembunuhan itu berhasil. Aybak tewas diserang orang suruhan Syajar ad-Dur saat sedang berada di kamar mandi. Kepada masyarakat umum, sang ratu lantas mengumumkan penyebab kematian Aybak adalah penyakit mendadak.
Izzuddin Aybak merupakan seorang komandan militer yang berdarah mamluk Turki. Tidak mengherankan apabila kematiannya membangkitkan dendam di kalangan prajurit mamluk terhadap Syajar ad-Dur. Beberapa hari kemudian, sang ratu Mesir tewas dibunuh oleh orang suruhan mereka.
Bukan ningrat
Menurut al-Usairy, di antara kekurangan Bani Mamluk ialah masih kuatnya perasaan rendah diri (inferiority complex) pada para tokohnya. Mereka menganggap diri bukan sebagai golongan ningrat. Lebih jauh lagi, identitas bekas budak masih membayanginya.
Dahulu, kebebasannya terenggut. Mereka saat masih belia bahkan diperjualbelikan layaknya barang. Walaupun sudah mengalami mobilitas sosial begitu mendewasa melalui pendidikan militer di Raudhah, tetap saja mereka merasa perlu untuk merangkul kalangan berdarah biru untuk memasuki lingkaran kekuasaan.
Sebagai contoh, kematian as-Shalih Ayyub sesungguhnya menandakan berakhirnya riwayat Dinasti Ayyubiyah. Lantas, istrinya yang berdarah mamluk, Syajar ad-Dur, naik sebagai pemimpin de facto. Begitu menerima surat dari Abbasiyah, perempuan tersebut tidak kemudian bersikap konfrontatif, melainkan akomodatif terhadap kemauan sang khalifah. Maka menikahlah ia dengan seorang panglima mamluk.
Sebagai suami Syajar ad-Dur, Izzuddin Aybak tidak lantas memaklumkan dirinya sebagai raja simbolis maupun praktis. Ia justru mengangkat seorang bangsawan Ayyubiyah, Musa, sebagai sultan syar’i atau penguasa simbolis. Barulah sesudah perpecahannya dengan Syajar ad-Dur kian melebar, Aybak seakan-akan gelap mata.
Ambisinya semakin besar untuk memegang kendali total atas pemerintahan. Maka dibunuhnya Musa sehingga benar-benar berakhirlah riwayat Daulah Ayyubiyah. Itulah alasannya, Izzuddin Aybak tercatat dalam sejarah sebagai penguasa pertama Dinasti Mamluk Bahriyah.
Izzuddin Aybak terbunuh saat sedang memimpin ekspedisi militer di Syam. Kuat dugaan, ia dihabisi oleh orang suruhan istrinya sendiri, Syajar ad-Dur. Namun tak lama berselang, Syajar sendiri menjadi target pembunuhan kelompok militer mamluk yang pro-Aybak.
Sesudah itu, seorang putra Aybak yang bernama Nuruddin diangkat menjadi raja. Namun, bocah 11 tahun ini hanyalah pemimpin boneka yang dikendalikan fraksi militer mamluk di Mesir. Tokoh yang terkemuka di antara para jenderal setempat adalah Saifuddin Quthuz.
Sebenarnya, Saifuddin Quthuz tidak murni seorang (mantan) budak karena dalam dirinya mengalir darah biru. Ia adalah keturunan ningrat asal Khwarazmi, Asia tengah. Begitu Mongol menduduki wilayah tersebut, ia yang masih berusia anak-anak ditawan, untuk kemudian dijual sebagai budak. Lantas, Quthuz muda dibeli seorang bangsawan Ayyubiyah di Syam.
Saat majikannya mengunjungi Mesir, Quthuz muda lagi-lagi dijual. Namun, pembelinya kali ini adalah Izzuddin Aybak yang ketika itu menjadi penguasa Mamluk Mesir. Oleh Aybak, Quthuz didaftarkan menjadi calon prajurit. Anak muda ini pun menjalani pendidikan dan pelatihan militer di Pulau Raudhah. Begitu lulus dari Raudhah, dirinya tidak lagi berstatus budak. Bahkan, ia berhasil meniti karier militer hingga menjadi orang penting di lingkaran elite.
Maka dengan kematian Aybak dan Syajar, Quthuz menjadi jenderal yang paling disegani. Dialah pemimpin sesungguhnya Dinasti Mamluk Bahriyah, bukan Nuruddin bin Aybak, 11 tahun, yang hanya pemimpin boneka.
Bersiap perang
Pada Februari 1258, Hulagu Khan menghancurkan ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad. Sesudah itu, cucu Jenghis Khan ini bergerak ke arah barat. Dengan mudah, balatentara Mongol yang dipimpinnya mencaplok negeri-negeri Muslim di sekujur Syam. Hingga akhirnya, Mesir menjadi satu-satunya daulah Islam yang masih eksis di Timur tengah ketika itu.
Pada 12 November 1259, Saifuddin Quthuz merebut kendali pemerintahan langsung dari Nuruddin bin Aybak. Sejak saat itu, jenderal ini menjadi penguasa Dinasti Mamluk Bahriyah. Di hadapan rakyat Mesir, ia berjanji mengatasi ancaman Mongol.
Sementara itu, balatentara Hulagu Khan sudah menjadikan Halab (Aleppo) sebagai basisnya. Dari sana, jenderal Mongol itu mengirimkan surat kepada Quthuz. Pemimpin Muslim itu diancamnya agar menyerahkan Mesir dan tunduk pada kekuasaan mereka.
Dalam artikel “History’s Hinge: ‘Ain Jalut”, David W Tschanz (2007) menukil perkataan Hulagu di surat tersebut sebagai berikut.
“Dari Raja Diraja Timur dan Barat, Khan yang Agung, kepada Quthuz si Mamluk, raja yang berusaha kabur dari pedang kami. Kamu mengetahui bagaimana nasib negeri-negeri lain dan, karena itu, tunduklah kepada kami. … Kamu tidak akan bisa lepas dari teror kami. Ke mana kamu akan lari? Kuda kami gesit. Anak panah kami tajam. Pedang kami bagaikan petir. Hati kami seteguh gunung. Pasukan kami sebanyak pasir. … Kami akan hancurkan masjid-masjid kalian sehingga lemahlah Tuhan kalian. Kami juga akan bunuh anak-anak dan orang tua kalian semuanya!”
Dengan ultimatum itu, Quthuz tidak gentar. Dikirimkannya surat balasan. Isinya menegaskan tekadnya untuk terus mempertahankan Mesir dari serbuan musuh. Tidak sejengkal pun seluruh prajurit dan rakyat Mamluk mundur ke belakang.
Sesudah itu, Quthuz mengumpulkan para petinggi militer guna membahas strategi pertempuran. Berbagai kemungkinan skenario dibahas mereka. Musyawarah itu akhirnya sampai pada kesimpulan. Pasukan Mamluk harus menyongsong musuh selagi masih berada di luar Mesir.
Sang sultan tidak dapat langsung menyusun kekuatan untuk ekspedisi militer ke Syam. Sebab, di negeri Mamluk masih bercokol intrik-intrik yang berupaya mengganggu persatuan. Dengan tegas, Quthuz pun menjalankan politik tangan besi. Satu per satu lawan-lawan politiknya dipenjara.
Ia juga berusaha mewujudkan stabilitas politik melalui kebijakan ekonomi. Jatuhnya Baghdad menimbulkan krisis yang luar biasa besar di dunia Islam kala itu. Mereka yang selamat dari kebengisan Mongol mengungsi ke arah barat, termasuk wilayah Mamluk. Mesir mulai dipadati kaum imigran yang tidak memiliki apa-apa kecuali baju di badan.
Quthuz menjalankan peraturan yang membagi produksi pangan Mesir ke dalam dua jenis. Pertama, hasil panen yang tidak boleh diperjualbelikan karena menjadi stok bahan makanan. Dengan itulah, sang sultan Mamluk menjamin kebutuhan orang-orang yang papa, termasuk para pengungsi. Kedua, produksi yang dapat diperdagangkan untuk warga memperoleh laba. Pajak kemudian ditarik dari setengah nilai keutungan yang mereka dapatkan. Dari penghimpunan dana itulah, Quthuz mampu membiayai angkatan perang yang hendak berangkat ke Syam, demi menyongsong balatentara Mongol.
Sumber pemasukan negara tidak hanya mengandalkan pajak. Lebih lanjut, Quthuz mewajibkan seluruh pejabat Mamluk untuk menyerahkan sebagian hartanya ke Baitul Mal. Instruksi ini mendapatkan dukungan dari kaum ulama setempat. Efeknya, jumlah dana yang dapat dihimpun untuk keperluan perang melonjak pesat.
Sesudah berhasil menyatukan berbagai elemen masyarakat, ia pun menggerakkan pasukannya ke luar Mesir. Di pesisir Palestina, Quthuz dapat meyakinkan fraksi-fraksi yang mulanya memberontak terhadap Mamluk untuk dapat bersatu melawan Mongol. Kalaupun ada yang enggan berpartisipasi dalam misi ini, mereka mengajukan perjanjian sehingga tidak akan berpihak pada musuh Islam.
Pada 11 Agustus 1259, pemimpin (khan) tertinggi Imperium Mongol, Mongke Khan, dikabarkan meninggal dunia di Asia tengah. Dalam tradisi bangsa Asia timur ini, upacara pemakaman raja agung harus dihadiri para jenderal dan bangsawan. Karena itu, Hulagu Khan pun meninggalkan Aleppo untuk kembali ke timur.
Dalam perjalanan pulang, Hulagu membawa serta 20 ribu pasukan terbaiknya. Ia lantas meninggalkan balatentara Mongol yang tersisa di Syam kepada sekutunya, Kitbuqa Noyan, seorang tokoh militer dari kalangan Kristen Nestorian. Keputusan tersebut mengandung isyarat bahwa komandan Mongol itu meremehkan kekuatan Muslimin yang dipimpin Quthuz.
Palagan Ain Jalut
Memasuki bulan Ramadhan tahun 658 Hijriyah, situasi semakin menguntungkan Mamluk. Di Syam, sisa-sisa kekuatan Ayyubiyah mulai mendukung Sultan Saifuddin Quthuz. Seorang jenderal Ayyubiyah, Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari, termasuk di antara mereka yang menyokongnya.
Berbekal informasi yang disampaikan Baibars al-Bunduqdari, Quthuz meyakini bahwa lokasi yang tepat untuk menghadapi balatentara Mongol ialah di Ain Jalut, sebuah lembah di sisi barat Kota Ajlun (kini bagian dari Yordania). Darinya pula, diketahui bahwa Hulagu Khan tidak jadi menyertai pasukannya. Musuh kini dipimpin oleh seorang panglima Nasrani.
Pada tanggal 15 Ramadhan 658 H, kedua belah pihak telah siap berperang. Quthuz mulai menerapkan strateginya dengan memancing balatentara Kitbuqa Noyan agar sampai ke Ain Jalut. Caranya dengan menerjunkan beberapa regu pasukan berkuda. Dengan mengusung panji-panji Mamluk, mereka berhasil mengelabui lawan agar mengejarnya.
Puluhan ribu pasukan Mongol dan sekutu Kristen Nestorian membanjiri Ain Jalut. Di sana, seketika pasukan Quthuz memberikan serangan balik. Terkejut dan kebingungan, mereka terjebak di lembah antara dua bukit itu. Alhasil, belasan ribu pasukan musuh tewas. Kemenangan gemilang sukses diraih pihak Mamluk Bahriyah.
Akhir riwayat
Dinasti Mamluk Bahriyah yang berpusat di Mesir memiliki usia cukup panjang, yakni 139 tahun. Dalam rentang masa itu, berbagai penguasa muncul dan tenggelam. Secara total, ada 28 orang yang pernah memimpin Mamluk—itu apabila Izzuddin Aybak dianggap sebagai perintis dinasti tersebut.
Dinasti Mamluk Bahriyah mencatat legasi luar biasa sebagai kerajaan yang sukses menghalau agresi Mongol di Timur Tengah. Pemimpinnya saat itu, Saifuddin Quthuz, berhasil menjalankan taktik sehingga meraih kemenangan dalam Perang Ain Jalut.
Sayangnya, bertahun-tahun sesudah Ain Jalut, Saifuddin Quthuz kemudian menjadi korban intrik politik—sama seperti beberapa sultan Mamluk sebelumnya. Ia dibunuh ketika sedang berburu di hutan Salihiyah. Para sejarawan klasik maupun modern umumnya meyakini, tokoh itu dihabisi oleh orang-orang suruhan Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari.
Saat Quthuz meregang nyawa, Baibars masih berada di Syam—tidak jauh dari lokasi kemenangan jihad Islam, Ain Jalut. Begitu sampai di Mesir, bekas bawahan Ayyubiyah itu disambut layaknya seorang pemimpin besar. Maka jalannya menuju kekuasaan pun tampak begitu mulus. Benar saja, pada Oktober 1260 dirinya diangkat sebagai raja Mamluk.
Pada masa pemerintahannya, seorang bangsawan Kekhalifahan Abbasiyah az-Zahir diterima dengan tangan terbuka di Mesir. Sebelumnya, paman Khalifah al-Musta’shim Billah itu berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian yang dilakukan bangsa Mongol di Baghdad.
Oleh Baibars, az-Zahir diangkat menjadi khalifah. Gelarnya mengikuti sang paman, yakni al-Musta’shim Billah II. Titel khalifah tersebut hanya berarti pemimpin simbolis (syar’i) belaka, tanpa dirinya memegang kekuasaan eksekutif apa-apa. Sejak saat itu, dimulailah fase Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Mesir.
Hingga tahun 1268 M, Baibars mampu meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke Hijaz. Berbeda dengan pendahulunya, ia lebih suka memimpin negeri dari Damaskus, alih-alih Kairo. Di kota itu pula, dirinya wafat dalam usia 53 tahun.
Kelak, penerusnya berhasil memantapkan daulah Mamluk. Bahkan, hingga tahun 1291 kerajaan Islam ini sukses menghalau Salibis dari Syam. Sayangnya, senjakala dinasti tersebut justru berawal dari intrik politik di lingkaran elitenya sendiri.