Oleh: Hasanul Rizqa
Endang Saifuddin Anshari dalam “The Jakarta Charter of June 1945” (1976) menggambarkan suasana sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK). Hari itu, tanggal 11 Juli 1945 atau sehari sesudah Sukarno menyampaikan pidato preambule yang dirumuskan Panitia Sembilan. Pembahasan sidang berkutat pada perkataan dalam dokumen itu, yakni Ketuhanan, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”—populer dengan sebutan “tujuh kata.”
Johannes Latuharhary, seorang anggota BPUPK yang beragama Kristen Protestan, menyatakan keberatan atas “tujuh kata” itu. Wongsonegoro, yang didukung Hoessein Djajadiningrat, pun mengajukan kritik. Ia mengatakan, anak kalimat tersebut “seolah-olah memaksa menjalankan syariat bagi orang-orang Islam.” Hal ini dibantah Abdul Wahid Hasyim, yang masuk dalam jajaran Panitia Sembilan. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengingatkan khalayak tentang dasar permusyawaratan sehingga tak mungkin suatu paksaan terjadi.
Sukarno mengingatkan hadirin, dokumen preambule yang dinamakan Piagam Jakarta itu adalah hasil kompromi antara kubu nasionalis Islami dan nasionalis “sekuler”—yang diistilahkannya “golongan kebangsaan”—dalam Panitia Sembilan. Di kepanitiaan itu, unsur-unsur kedua kubu seimbang. Masing-masing direpresentasikan empat tokoh.
Ia lantas membentuk suatu panitia kecil yang bertugas merancang Undang-Undang Dasar (UUD). Mereka terdiri atas Supomo (ketua), Wongsonegoro, A Soebardjo, AA Maramis, Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman.
Pada 13 Juli, Panitia Kecil menyampaikan rancangan pertama UUD. Dari sekian banyak pasal di sana, ada dua pasal terkait dialektika kubu nasionalis Islami dan “sekuler.”
Pasal 4 ayat 2 tentang Presiden menyebutkan, “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli.” Adapun pasal 28 tentang Agama menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.”
Abdul Wahid Hasyim menyarankan agar pasal 4 ayat 2 ditambahkan perkataan “yang beragama Islam.” Usul lainnya dari tokoh NU tersebut, pasal tentang Agama mengandung penegasan sehingga “agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.” Namun, saran ini tak disetujui Haji Agus Salim, “Jika presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta dan sebagainya. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”
Pada 14 Juli 1945, Sukarno selaku ketua Panitia Konstitusi—terdiri atas dua subpanitia, yakni yang membahas pembukaan (preambule) dan batang tubuh UUD—melaporkan kepada sidang paripurna sebanyak tiga rancangan. Yakni, Deklarasi Kemerdekaan, Preambule (Mukaddimah) UUD, dan Batang-tubuh UUD yang terdiri atas 42 pasal.
Usai Sukarno berpidato, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo tak menyetujui rumusan “tujuh kata.” Sejalan dengan KH Ahmad Sanusi, ia pun mengusulkan agar perkataan “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja sehingga menjadi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Atas saran ini, Bung Karno kembali mengingatkan tentang modus vivendi yang telah dicapai Panitia Sembilan. Baginya, kompromi berarti “memberi dan mengambil” antara kedua belah pihak sehingga kurang tepat bila “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan.
Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPK menanyakan kepada hadirin, apakah perlu voting untuk menengahi persoalan ini. Abikoesno Tjokrosoejoso, seorang penanda tangan Piagam Jakarta, kurang sepakat dengan tawaran itu. Ia memandang, mekanisme voting dapat menimbulkan kesan di kemudian hari, para pemuka bangsa tak menemui kata mufakat.
Usulan Abikoesno itu disambut tepuk tangan hadirin. Ki Bagus pun tak lagi mengungkit-ungkit pendiriannya.
Keesokan harinya, sidang membahas batang tubuh UUD. Perdebatan muncul saat membahas, apakah presiden harus seorang Muslim? Sukarno menyatakan tak perlu dicantumkan dengan tegas bahwa presiden Indonesia mesti pemeluk Islam. A Kahar Muzakkir, yang ikut dalam Panitia Sembilan, merasa kecewa. Ia memandang Bung Karno tak lagi mengindahkan golongan Islam dan cenderung pada netral agama. Sambil memukul meja, ia meminta supaya perkataan apa pun “yang menyebut-nyebut atau agama Islam atau apa saja” dicoret sama sekali dari UUD.
Radjiman menawarkan voting kepada sidang untuk mengatasi permasalahan ini. Namun, Kiai Sanusi menolaknya sembari menegaskan, masalah agama tak bisa begitu saja ditentukan suara terbanyak. Sidang lantas ditutup tanpa keputusan apa pun.
Malamnya, Sukarno melobi para pemuka kubu nasionalis Islami dan nasionalis “sekuler.” Esoknya, dalam rapat Bung Karno menyatakan dukungannya terhadap pencantuman “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam” dalam UUD. Teruntuk golongan nasionalis “sekuler”, ia mengakui inilah suatu pengorbanan.
“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada Tanah Air dan bangsa kita,” kata Bung Karno utamanya kepada tokoh-tokoh nasionalis “sekuler” (non-Muslim) di BPUPK, semisal Latuharhary dan AA Maramis.
Sesudah itu, Ketua BPUPK menutup sidang seraya mempersilakan para anggota untuk berdiri. “Undang-undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya,” demikian ucap Radjiman yang disambut gemuruh tepuk tangan seluruh hadirin.
Dua jam itu
Kemerdekaan Indonesia pada akhirnya terwujud dengan upaya dan tenaga bangsa Indonesia sendiri. Kemerdekaan ini bukanlah sama sekali “hadiah” dari Jepang, apalagi pemenuhan janji-janji manis kekaisaran itu. Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Indonesia merdeka di rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur No 56.
Rasa syukur dan haru-biru meliputi seluruh pemimpin dan rakyat negeri. “Alhamdulillah, bendera Republik sekarang telah berkibar. Kalaupun ia diturunkan lagi, itu harus melalui mayat dari 72 juta bangsaku. Apa pun yang terjadi, kami tak akan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap Merdeka!” begitu batin Bung Karno sesudah pembacan teks proklamasi, seperti diungkapkannya dalam autobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).
Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terbentuk. Sukarno dan Hatta duduk sebagai ketua dan wakil ketua. Sidang PPKI dijadwalkan berlangsung sejak 09.30 WIB. Akan tetapi, hingga pukul 11.30 WIB pertemuan itu tak kunjung dibuka.
Saifuddin Anshari menjelaskan, apa yang terjadi dalam rentang dua jam itu menghasilkan peristiwa penting dalam sejarah konstitusi RI. Mulanya, PPKI beranggotakan 21 orang, termasuk ketua dan wakil ketua. Namun, atas saran Bung Karno, sebanyak enam orang ditambahkan sebagai anggota. Ia pun mendesak agar panitia ini bertindak “dengan secepat kilat.” Para anggota diharapkan tak bertele-tele pada masalah detail. Pusatkan perhatian pada garis-garis besar saja.
Agenda rapat itu seputar beberapa perubahan penting dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD. Hatta menyampaikan empat usul perubahan.
Pertama, kata “Mukaddimah” diganti dengan “Pembukaan.” Kedua, dalam Preambule (yakni Piagam Jakarta), anak kalimat “berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Ketiga, pada pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, sejalan dengan perubahan di atas, pasal 29 ayat menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
‘Hadiah terbesar’
Dalam pertemuan tanggal 18 Agustus 1945 itu, Mohammad Hatta memaparkan beberapa rancangan perubahan atas Preambule dan batang tubuh UUD. Dalam pidatonya, Bung Hatta mengutarakan keyakinannya, “Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa.”
Setelah mengambil alih pimpinan sidang PPKI, Sukarno menegaskan, UUD yang dibuat ini sifatnya hanyalah sementara. Ia bahkan mengistilahkannya sebagai Revolutiegrondwet, “UUD kilat” yang dibuat pada masa revolusi.
“Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” katanya lagi.
Siang hari itu, tepatnya pukul 13.45 WIB, PPKI menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang tubuh UUD tersebut. Inilah yang akhirnya dikenal luas sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Tentunya, menjadi pertanyaan banyak pihak. Mengapa dan apa sebabnya Piagam Jakarta diubah hanya dalam waktu singkat?
Bung Hatta dalam “Pembentukan Indonesia Merdeka oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (1981) menuliskan kesaksian. Pada 17 Agustus 1945 sore, dirinya dihubungi Tuan Nisyijima, seorang pembantu Admiral Mayeda. Nisyijima mengatakan, ada seorang opsir angkatan laut (Kaigun) yang hendak menyampaikan kepadanya tentang wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai Kaigun. Mereka mengaku keberatan dengan “tujuh kata” dalam Pembukaan UUD.
“Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia,” tulis Bung Hatta.
Hatta hanya punya waktu semalam untuk merenung. Ia merasa, opsir Jepang—yang ia “lupa namanya siapa”—itu “sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu.” Ini memengaruhi pendirian Hatta. Keesokan paginya, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta pun mengajak Ki Bagus Hadikusumo, A Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, serta Mr Teuku Hasan untuk membicarakan masalah itu.
Singkat cerita, Hatta berhasil dalam lobi itu. Amandemen pun diajukan Ki Bagus yakni “tujuh kata” diganti dengan “Yang Maha Esa.” Ini mengandung makna tauhid, inti ajaran Islam. Menurut Mohammad Roem dalam kata pengantar buku ES Anshari (1981), pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa dapat diperoleh dari kitab suci agama masing-masing. Alhasil, “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi ikatan bersama antarwarga negara.
Lebih lanjut, tokoh Masyumi ini mengutip Alamsjah Ratoe Perwiranegara. Menteri Agama periode 1978-1983 itu dalam acara Dies Natalis Institut Ilmu al-Qur’an 25 April 1981 mengatakan, “Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.” Saat mengucapkan itu, ia menunjuk dengan hormat kepada Kasman Singodimedjo, salah satu yang diajak Bung Hatta dalam lobi jelang sidang PPKI 18 Agustus 1945. Bagi Roem, kesaksian Menteri Alamsjah mengandung penghargaan besar bagi umat Islam.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang menetapkan pembubaran Konstituante. Lembaga itu—diisi para wakil rakyat hasil Pemilu 1955—sebelumnya bertugas membentuk konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Dengan dekrit itu pula, Bung Karno memaklumkan kembalinya UUD 1945. Dalam pertimbangannya, ditegaskan, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Hingga kini, bangsa Indonesia tetap memegang teguh Pancasila. Sejarah membuktikan, pemonopolian tafsir Pancasila hanya berujung disharmoni. Begitu pula dengan upaya-upaya membenturkan antara Pancasila dan agama (Islam). Sebab, tak ada pertentangan antara keduanya.
Pesan Mohammad Natsir, sang Bapak NKRI, agaknya tepat untuk hari-hari ini, “Janganlah pula ia (Pancasila) dipergunakan untuk menentang terlaksananya kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Alquran itu, yaitu induk-Serba-Sila, yang bagi umat Muslimin Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang ingin mereka sumbangkan isinya kepada pembinaan Bangsa dan Negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”