Oleh: Hasanul Rizqa
Partai politik (parpol) merupakan organisasi yang berfungsi mengoordinasikan warga negara yang hendak menjadi calon pemimpin atau calon wakil di parlemen, baik pada level pusat maupun daerah. Parpol dapat mengajukan kader-kadernya atau individu yang dianggap berkompeten untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu), sebagai cara rakyat menentukan pemimpin dan legislator pilihan mereka.
Dalam sejarah Indonesia, jumlah parpol cenderung fluktuatif. Ketika Reformasi pertama kali bergulir, parpol-parpol peserta pemilu mencapai 48 buah. Pada zaman Orde Baru, "hanya" ada dua parpol dan satu golongan (karya) sebagai kendaraan politik rezim kala itu.
Di negara ini, tiap parpol akan selalu menjadikan umat Islam sebagai target raihan suara. Sebabnya jelas, mereka adalah unsur mayoritas di Indonesia, yang notabene-nya merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia.
Pada zaman Orde Lama, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pernah meneguhkan klaim sebagai "satu-satunya parpol Islam di Indonesia." Selama awal periode demokrasi liberal 1950-an, para anggota Masyumi duduk di DPR. Beberapa anggotanya juga terpilih sebagai perdana menteri Indonesia, seperti Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Sebelum menjadi partai politik pada 1945, Masyumi merupakan wadah tempat berhimpunnya pelbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam arus besar. Historisitas Masyumi berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang.
Cikal-bakal Masyumi adalah Majlisul Islamil A’la Indonesia (MIAI). MIAI merupakan organisasi pertama di Tanah Air yang memayungi ormas-ormas Islam. Federasi itu terbentuk sebagai hasil rapat para pemimpin Muslim di Mushola Pondok Pesantren Kebondalem, Surabaya, Jawa Timur, pada 18-21 September 1937.
Mizan Sya’roni dalam tesisnya untuk McGill University, “The Majlisul Islamil A’la Indonesia (MIAI): Its Socio-Religious and Political Activities (1937-1943)”, menjelaskan, di antara hadirin pertemuan tersebut adalah KH Ahmad Dahlan (bukan KH Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah), KH Abdul Wahab Hasbullah dari Nahdlatul Ulama (NU), KH Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan W Wondoamiseno dari Partai Sarekat Islam Indonesia.
Para ulama dan tokoh hadirin di Kebondalem, Surabaya, itu pun bersepakat untuk memperkuat pesatuan dalam wadah yang sama yakni MIAI. Sya’roni menjelaskan, MIAI merepresentasikan berbagai corak organisasi-organisasi keislaman terkemuka di Tanah Air saat itu. Ada tujuh organisasi besar yang turut serta di dalamnya. Mereka adalah Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, al-Islam, Persatuan Ummat Islam, al-Irsyad, Hidayatul Islamiyah Banyuwangi, dan al-Khairiyah Surabaya.
Pada 1941, MIAI kian berkembang. Sebanyak 13 organisasi tercatat sebagai partisipan umum. Mereka adalah (1) PSII, (2) Muhammadiyah, (3) Persatuan Islam, (4) NU, (5) al-Irsyad, (6) Jong Islamieten Bond/JIB, (7) Partai Islam Indonesia, (8) al-Ittihadul Islamiyah Sukabumi, (9) al-Islam Solo, (10) Persatuan Arab Indonesia, (11) Persatuan Ulama Seluruh Aceh/PUSA, (12) Musyawaratut Thalibin Kandangan Kalimantan, dan (13) Persatuan Ulama Islam Majalengka. Secara keseluruhan, jumlah keanggotaannya ditaksir mencapai 410.363 orang.
Di luar itu, Sya’roni juga mencatat sebanyak tujuh organisasi lainnya sebagai anggota luar biasa MIAI. Mereka adalah al-Hidayatul Islamiyah Banyuwangi, Majlis Ulama Indonesia, Persatuan Muslim Minahasa-Manado, al-Khairiyah Surabaya, Persatuan Putra Borneo, Persatuan India Putra Indonesia, dan Persatuan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) di Mesir.
Pembagian sifat keanggotaan itu, yakni umum dan luar biasa, mengindikasikan adanya perbedaan kewajiban di dalam MIAI. Maka dari itu, Harry J Benda dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942–1945 berkesimpulan, MIAI tak terlalu mengikat seluruh organisasi yang menjadi anggotanya.
Ikatan dalam MIAI cenderung didasari sifat sukarela. Bagaimanapun, hal itu tidak mengurangi prestise majelis tersebut. Sya’roni mencontohkan, pada 5-29 November 1939 MIAI mengirimkan sejumlah delegasi untuk menghadiri Pameran Keislaman di Tokyo dan Osaka, Jepang. Adanya undangan dari Negeri Matahari Terbit untuk Hindia Belanda—Indonesia saat itu—menunjukkan, besarnya pengaruh MIAI sebagai representasi kaum Muslimin umumnya di Tanah Air.
Kepemimpinan MIAI diselenggarakan dalam format Badan Sekretariat. Isinya lebih diwarnai musyawarah para pemuka organisasi-organisasi yang tergabung dalam MIAI. Artinya, tak ada sosok tertentu selaku pemberi instruksi. Menurut Sya’roni, hal itu mungkin bertujuan untuk menghindari adanya konflik internal dalam menakhodai MIAI. Pada 1939, struktur badan itu terdiri atas W Wondoamiseno (sekretaris), KH Mas Mansur (bendahara), serta KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Wahab (anggota).
Kira-kira setahun kemudian, struktur itu berubah sehingga tiap tokoh menjabat sebagai berikut: KH Ahmad Dahlan (penasihat), W Wondoamiseno (ketua), H Faqih Usman (bendahara). Adapun kedudukan anggota diisi oleh KH Abdul Wahab, S Oemar Hoobeis, Sastradiwirja, dan Abdoelkadir Bahalwan.
Pada 14-15 September 1940, konferensi menyepakati pembentukan Dewan MIAI untuk memimpin majelis tersebut. Dewan MIAI terdiri atas lima orang dari lima organisasi terkemuka, yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Sarekat Islam, dan Partai Islam Indonesia. Susunan dewan tersebut akan dipilih tiap dua tahun. Dewan MIAI bertugas melaksanakan program kerja—yang disebut “Rencana Perdjoangan”—serta didampingi Sekretariat sebagai pengurus harian.
Sejak 1940 hingga masuknya Jepang ke Indonesia, struktur Dewan MIAI adalah sebagai berikut: KH Abdul Wahid Hasyim (presiden), W Wondoamiseno (wakil presiden), serta para anggota yakni S Oemar Hoobeis, KH Mas Mansur, dan Dr Soekiman. Adapun Sekretariat sebagai berikut: H Faqih Usman (ketua harian), Abdoelkadir Bahalwan (sekretaris), dan Sastradiwirja (bendahara).
Kongres Islam
Sya’roni mengatakan, pembentukan MIAI bermaksud menggantikan pengaruh Sarekat Islam (SI), yang mulai meredup sejak 1920-an. Bahkan, MIAI tampak ambil bagian dalam meneruskan “tugas” organisasi tersebut. Misalnya, penyelenggaraan kongres umat Islam yang semula diadakan SI antara tahun 1921 dan 1932 dilanjutkan oleh MIAI pada 1938.
Dalam masa penjajahan Belanda, MIAI telah menghelat tiga kongres umat Islam. Hal itu pula yang membedakan MIAI dengan pergerakan nasionalis lainnya pada zaman kolonial, yakni Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Bila organisasi yang berdiri pada 21 Mei 1939 itu berfokus seutuhnya pada persoalan politik, MIAI tak hanya berpolitik, tetapi juga aktif dalam wacana sosio-religi umat Islam selaku elemen terbesar rakyat Hindia Belanda.
MIAI menyokong penuh penyelenggaraan kongres umat Islam Indonesia (KUII—disebut pula “Kongres Al Islam Indonesia/KAII”) di Surabaya pada 26 Februari-1 Maret 1938. Ada 25 ormas Islam yang turut hadir. Bagaimanapun, NU dan Muhammadiyah tampak mendominasi warna kongres ini. Maka dari itu, pengaruh SI dapat dikatakan tak terlalu mencolok meskipun organisasi itulah yang mulanya mensponsori kongres-kongres umat Islam sebelumnya.
KUII 1938 terbilang sukses dalam menyatukan berbagai aspirasi umat Islam. Di antara rekomendasi yang dihasilkannya adalah mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk: (1) menyelidiki kasus-kasus dugaan penghinaan terhadap Islam, (2) menjadikan persoalan waris dan wakaf sebagai otoritas ulama Islam dan bukan pengadilan adat dalam struktur hukum Hindia Belanda, serta (3) memperbaiki sistem penyelenggaraan ibadah haji.
Desakan yang pertama itu merespons tulisan Siti Sumandari dalam Bangun, majalah yang disokong Partai Indonesia Raya (Parindra). Sumandari mendukung draf undang-undang pernikahan yang diajukan pemerintah pada 1937, tetapi sembari menuding Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata yang kurang patut. Selain tiga butir desakan di atas, kongres juga membahas tentang metode penentuan awal Ramadhan dan imbauan untuk mendoakan perjuangan bangsa Palestina.
KUII pada 2-7 Mei 1939 juga diikuti 25 ormas. Kongres di Solo, Jawa Tengah, itu menghasilkan rekomendasi yang kurang-lebih senada dengan sebelumnya. Bagaimanapun, dalam kongres itu MIAI mengetengahkan persoalan maraknya misionaris di daerah-daerah.
Untuk diketahui, sejak 1928 pemerintah kolonial mencabut aturan yang membatasi persebaran misionaris. Pada saat yang sama, rezim penguasa juga menetapkan pengawasan yang ketat oleh aparat lokal atas juru-juru dakwah non-Kristen. MIAI mendesak pemerintah agar membatalkan kebijakan tersebut karena sangat merugikan kaum Muslimin selaku mayoritas di negeri ini.
KUII berikutnya digelar di kota yang sama pada 7-8 Juli 1941. Hadirin kemudian bersepakat untuk mengubah nama pertemuan sejak saat itu menjadi Kongres Moeslimin Indonesia. Mereka juga mendesak pemerintah agar membebaskan Haji Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka) yang ditahan di Sukabumi sejak 12 Januari 1941 lantaran dituding mengkritik kekuasaan. KUII ketiga juga menghasilkan Komite Penerimaan Moekimin untuk memulangkan orang Indonesia yang tak bisa kembali ke Tanah Air sesudah masa haji. Sebanyak 914 mukimin berhasil dipulangkan berkat komite itu.
Bertahan di zaman Jepang
Perang Dunia II pecah pada 1 September 1939 dengan invasi Jerman atas Polandia. Negeri Belanda terkena imbas palagan tersebut. Bahkan, satu tahun kemudian Jerman berhasil mencaplok Belanda sehingga pemerintah setempat melarikan diri ke London. Dua tahun kemudian, menteri penjajahan berpidato di Dewan Rakyat (Volksraad) di Batavia (Jakarta) untuk menegaskan, reformasi tak boleh terjadi di Hindia Belanda sampai perang usai. Pernyataan ini menyulut respons dari kalangan nasionalis, baik kubu sekular maupun Islam.
Pada September 1941, Majlisul Islamil A’la Indonesia bersama dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Persatuan Vakbond Pegawai Negeri (PVPN) mengumumkan pembentukan Majelis Rakyat Indonesia (MARI). MARI menyuarakan desakan-desakan reformatif kepada parlemen dan pemerintah kolonial. Misalnya, penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional serta lagu dan bendera kebangsaan Merah Putih.
Pada Maret 1942, balatentara Jepang mulai menduduki daerah-daerah penting di Indonesia. Belanda yang ratusan tahun menjajah negeri ini tak kuasa membendungnya. Dai Nippon lantas melarang segala bentuk aktivitas politik sehingga berhentilah banyak pergerakan nasional, termasuk MIAI.
Pada saat yang sama, Jepang berupaya menggalang dukungan rakyat Indonesia melalui Gerakan Tiga A. Akan tetapi, propaganda Tiga A tak sampai mengakar luas di tengah publik. Jepang kemudian memulangkan Sukarno ke Jakarta. Bung Karno sebelumnya menjalani pengasingan oleh Belanda di Sumatra. Sang penyambung lidah bangsa Indonesia itu diharapkan bisa memobilisasi kekuatan rakyat demi mendukung Jepang dalam Perang Dunia II.
Nippon tak hanya fokus pada kalangan nasionalis, melainkan juga Islam. Segera setelah menguasai Jakarta, Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (Shumubu). Namun, Shumbu yang dipimpin seorang kolonel itu ditanggapi dingin kaum Muslimin. Jepang lantas meminta pendapat tokoh-tokoh MIAI, yakni KH Mas Mansur, W Wondoamiseno, dan Fakhruddin al-Kahiri (al-Irsyad). Pemuka militer Jepang bahkan ikut dalam safari ke daerah-daerah kantong Muslim di Jawa. Pada tiap tempat, massa yang berkumpul bisa mencapai 10 ribu orang.
Menyadari besarnya potensi (kuantitatif) umat Islam, Jepang kemudian menyokong terbentuknya Persiapan Persatuan Oemmat Islam. Pertemuan para alim ulama pun diadakan di Jakarta pada 5 September 1942. Inilah awal mula hidupnya lagi MIAI. Bahkan, pada Januari 1943 Jepang mengizinkan terbitnya majalah dwimingguan Soeara MIAI.
Selain itu, majelis juga mulai menerapkan Baitul Maal pada April tahun yang sama. Badan itu berfungsi mengorganisasikan dana zakat. Adapun dua rencana lainnya, yakni pembangunan suatu masjid agung dan universitas Islam, urung diwujudkan.
Adanya Baitul Maal ternyata disambut antusias umat Islam. Sebarannya mencakup 35 dari total 67 kabupaten di Indonesia saat itu. Namun, Jepang justru menaruh curiga pada popularitas MIAI. Ini turut melemahkan positioning majelis tersebut di level pusat.
Apalagi, sejak April 1943, KH Mas Mansur meletakkan jabatan di dewan penasihat MIAI. Sebab, ia dituntut aktif dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera)—yang dibentuk Jepang sebagai pengganti Tiga A. Pada 10 September 1943, Muhammadiyah dan NU diperbolehkan Jepang untuk kembali menjalankan aktivitasnya.
Dengan rupa-rupa peristiwa itu, akhirnya Jepang membubarkan MIAI pada 24 Oktober 1943. Sebagai gantinya, dibentuklah Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia alias Masyumi.
Lahirnya partai
Masa pendudukan Jepang di Tanah Air relatif singkat dibandingkan kolonialisme Belanda. Namun, pada fase itulah sejarah nasional mengalami dinamika yang krusial. Dai Nippon berupaya untuk menggalang kekuatan pemimpin dan rakyat Indonesia agar mendukungnya dalam kancah Perang Dunia II. Umat Islam pun tak ayal lagi turut menjadi sasaran.
Pada November 1943, Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia alias Masyumi terbentuk. Menurut Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism (2015), komposisi Masyumi pada zaman Jepang diisi ulama dan politikus. Kalangan yang pertama itu khususnya dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam besar, semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara, kalangan politikus Muslim kebanyakan datang dari golongan Sarekat Islam (SI).
Cara Jepang memandang dunia Islam sudah tampak sebelum pecah Perang Dunia II. Madinier menjelaskan, sejak awal abad ke-20 Nippon mulai mengirimkan mahasiswa ke Mesir untuk mempelajari kaum Muslim. Bahkan, pada 1939 Tokyo menjadi tuan rumah konferensi pan-Islamisme. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tercatat sebagai salah satu tamu undangannya. Saat mengonsolidasi kekuasaan di Indonesia, Nippon mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) dan Persiapan Persatuan Oemmat Islam.
Namun, kaum Muslimin umumnya tak terbujuk propaganda Jepang. Apalagi, Nippon secara serampangan mendesak umat untuk ikut dalam sejumlah ritual yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam, seperti seikerei (membungkuk ke arah timur sebagai penghormatan pada kaisar Jepang sebagai “titisan dewa matahari”). Ulama-ulama terkemuka, umpamanya KH Hasyim Asyarie dan Kiai Mahfudz, bahkan sempat dipenjara Jepang lantaran menolak seikerei.
Maka, pembentukan Masyumi diharapkan Jepang dapat membuka babak baru hubungan dengan kaum Muslim. Nippon membuka pendaftaran Masyumi bagi dua pihak, yakni ormas dan kalangan ulama atau kiai. Sejak awal 1945, Jepang kian membuka lebar jalan bagi Masyumi untuk menyebarkan pengaruh di tengah publik sampai ke pelosok-pelosok. Alhasil, jaringan organisasi keislaman ini melampaui yang dahulu dicapai MIAI.
Pada Maret 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk beberapa bulan setelah Perdana Menteri Jepang Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia “tak lama lagi.” Walaupun Masyumi berada di luar kegiatan politik praktis saat itu, jaringan yang dibangunnya hingga daerah-daerah menjadi modal besar untuknya kelak bertransformasi menjadi partai politik.
Masyumi yang terbentuk pada 1943 bukanlah kolaborator Jepang. Sebab, Partai Masyumi yang lahir setelah Indonesia merdeka justru memberi ruang pada para pemuka Masyumi 1943 untuk tampil. Sebagai contoh, empat dari lima tokoh utama Masyumi 1943—KH Hasyim Asy’arie, Ki Bagus Hadikusumo, KH A Wahid Hasyim, dan KH Abdul Wahab—terdaftar dalam posisi terkemuka di Partai Masyumi.
Adapun lainnya, yakni KH Mas Mansur, pada masa revolusi sempat ditangkap tentara Belanda dan mengidap sakit setelah keluar dari penjara. Tidak sertanya tokoh Muhammadiyah yang wafat pada 25 April 1946 itu di Partai Masyumi lebih karena alasan kesehatan.
Bukti lainnya juga dapat terbaca dari riwayat Abu Hanifah. Sosok yang dahulu terlibat banyak dalam pendirian Baitul Mal MIAI itu memang menolak bergabung dalam Masyumi bentukan Jepang. Suatu kali, satu artikelnya dimuat dalam Suara Muslimin Indonesia, majalah terbitan Masyumi 1943. Isinya mengajak para pemimpin organisasi itu untuk membuat suatu perhimpunan baru agar lepas dari hegemoni Jepang. Belakangan, ketika Partai Masyumi berdiri pada 1945—sesudah proklamasi kemerdekaan RI—nama Abu Hanifah masuk dalam jajaran komite eksekutif partai tersebut.
Fungsi wahana politik
Beberapa bulan setelah Proklamasi, kesempatan untuk membuat partai politik terbuka lebar. Pada 7-8 November 1945, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) dihelat di Gedung Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil dari kongres itu adalah kesepakatan untuk mendirikan Partai Masyumi.
Syaifruddin Jurdi dalam bukunya, Kekuatan-kekuatan Politik Indonesia, mengatakan, waktu itu Partai Masyumi adalah wadah tunggal perpolitikan Islam di Tanah Air. Sebab, tidak ada partai politik lain sebagai penyalur aspirasi politik umat Islam di luar Masyumi. Oleh karena itu, lanjut Jurdi, Masyumi pun dapat dipandang sebagai federasi politik umat Islam Indonesia.
Inilah awal yang baik bagi konsolidasi kekuatan umat Islam sesudah Indonesia merdeka. Struktur Partai Masyumi menempatkan kalangan kiai dan ulama tradisional pada posisi majelis syura, sedangkan kaum cendekiawan Muslim hasil didikan Barat duduk pada posisi pimpinan harian.
Menurut Jurdi, penyelarasan demikian adalah jawaban terhadap meluasnya pengaruh kalangan nasionalis kebangsaan yang hendak membangun Indonesia dengan ideologi sekular, yakni memisahkan antara agama dan negara. Bagi pendukung ideologi demikian, urusan agama ada di ranah privat orang per orang.
Sementara itu, kalangan berideologi agama (Islam) menganggap kaum sekular itu kurang menghargai perjuangan umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini yang berjuang untuk mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Jurni mengatakan, kelompok Islam itu berpandangan, bila demokrasi ditegakkan, aspirasi kaum Muslimin harus diakomodasi dalam konstitusi.
Mohammad Natsir menjadi ketua umum Partai Masyumi sejak 1949 hingga 1958. Dalam Muktamar VI Partai Masyumi di Jakarta, 24-30 Agustus 1952, ia mengajukan tafsir asas (beginselverklaring) yang dimaksudkan sebagai pegangan seluruh kader partai. Dalam kesempatan ini, tokoh Masyumi lainnya, Jusuf Wibisono, juga mengajukan Program Perjuangan Partai.
Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan (2019) menjelaskan, beginselverklaring yang diajukan Natsir mencakup mukadimah, analisis keadaan zaman itu, serta tugas dan kewajiban seorang kader Masyumi. Muktamar 1952 itu juga menyepakati reformulasi tujuan Partai Masyumi sehingga menjadi “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.”
Dalam memperjuangkan dasar negara Islam, Masyumi tetap percaya pada sistem demokrasi dan menolak sistem kekuasaan terpusat pada orang. Natsir berpidato menjelaskan tugas dan kewajiban Masyumi: “Kita menuju kepada baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang berkebajikan diliputi keampunan Ilahi, di mana negara melakukan kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantaraan wakil-wakil rakyat yang dipilih.”
Natsir juga merupakan sosok kunci dalam peristiwa meleburnya negara-negara bagian di Tanah Air pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Indonesia, Desember 1949. Pada 1950, Natsir mulai aktif melobi tokoh-tokoh dari pelbagai negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) agar mereka bersedia melebur ke dalam Republik Indonesia.
Upaya ini mengkristal menjadi Mosi Integral. Dokumen itu disahkan pada 3 April 1950. Bagaimanapun, namanya belakangan dikenang sebagai “Mosi Integral Natsir” sehingga menandakan besarnya jasa tokoh Partai Masyumi itu.
Dalam memperjuangkan dasar negara Islam (bukan negara Islam), Natsir selalu memakai cara-cara dialog. Dia teguh berprinsip. Bagaimanapun, dalam perilaku keseharian tokoh kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, itu luwes dan hangat dengan siapa saja, termasuk lawan politiknya. Keluwesan dan kesederhanaan yang sama juga ditunjukkan Sukarno, Hatta, IJ Kasimo, dan lain-lain para negarawan bangsa kita generasi silam. Kesan demikian menjadi keteladanan dan kerinduan bagi generasi sekarang.
Dalam sebuah wawancara tahun 1993, cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid mengatakan, “Rumah Pak Prawoto (almarhum, ketua Partai Masyumi terakhir) di Jalan Kertosono IV, itu diperoleh antara lain atas bantuan Pak Kasimo (IJ Kasimo), tokoh Katolik (Partai Katolik). Mungkin karena mereka merasa sesama pejuang. Demikian juga Pak Roem (Mohammad Roem, pemimpin Masyumi)."
"Dia (Roem) selalu mengadakan ulang tahun, tapi yang diundang bukan para kiai, justru orang-orang seperti Simatupang dan sebagainya. Dan beliau melakukan itu tanpa stigma, rintangan batin. Situasi seperti itulah yang saya rindukan. Maka sebenarnya kalau saya boleh mengklaim sayalah Masyumi muda, tapi Masyumi tahun 1950-an itu.”
Badai melanda
Dengan dasar tertulis Masyumi dan perilaku para tokoh Masyumi sendiri, jelaslah watak umumnya adalah nasionalis sejati. Menurut Thohir Luth dalam M Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, karakteristik nasionalis memang sudah menjadi sifat umumnya masyarakat Islam di Indonesia. Hanya saja, dalam praktiknya Masyumi mengalami banyak cobaan.
Pada Juli 1947, unsur Sarekat Islam (SI) melepaskan diri dari Partai Masyumi. Sejak saat itu, posisi SI kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dinamika politik nasional saat itu juga mengguncang tubuh partai berlambang bulan sabit-bintang tersebut. Amir Syarifuddin dalam membentuk kabinet baru mau-tak-mau mesti menyertakan unsur golongan Islam. Maka, PSII menerima tawaran kursi di kabinet. Pada 1947, kader-kader Masyumi masuk ke dalam kabinet.
Goncangan besar melanda pada Mei 1952. Pasalnya, NU mengikuti jejak SI yakni keluar dari Partai Masyumi. Sejak saat itu, NU mendirikan partai baru. Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 menilai, meskipun tokoh-tokoh NU di parlemen yang keluar dari Masyumi dan menyeberang ke Partai NU hanya delapan orang, NU itu sendiri tentunya memiliki jumlah massa yang begitu besar.
Kebesaran itu terbukti dalam gelaran Pemilu I pada September 1955. Partai NU meraih suara terbanyak setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi dengan jumlah wakil di parlemen sebanyak 45 orang.
Menurut Syafii Maarif, alasan utama keluarnya NU dari Masyumi dapat dilacak dari ketidakpuasan di kalangan unsur ini atas dominasi kelompok reformis dalam dewan Partai Masyumi. Apalagi, dewan tersebut saat itu dipimpin Mohammad Natsir, alih-alih Soekiman yang tampaknya lebih mampu merangkul perilaku politik kelompok pesantren itu. Lebih lanjut, selera politik NU saat itu juga mulai muncul ke permukaan.
Di mata mereka, para kiai juga mampu memegang posisi sebagai menteri di luar menteri agama. Syafii menilai, godaan politik sah-sah saja. Akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kurang adanya suatu islah politik di Masyumi saat itu sehingga seluruh unsurnya dapat kembali padu pada ikrar November 1945. Alhasil, keretakan Masyumi membuat saluran aspirasi politik umat Islam terbelah, yakni menjadi PSII, Partai NU, dan Perti serta Masyumi sendiri.
Tantangan besar lainnya untuk Masyumi ialah kedekatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan rezim saat itu. Sejumlah tokoh sipil dan militer yang menolak komunis antara lain terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang terbentuk pada Februari 1958. PRRI menghendaki Sukarno kembali ke UUD Sementara.
Tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, turut dalam PRRI. Adapun keterlibatan Masyumi ini didasari tujuan agar para komandan tentara dalam PRRI tak sampai berkeinginan membentuk negara sendiri. Meski sempat menjatuhkan operasi militer, Presiden Sukarno lantas menetapkan amnesti atas mereka yang terlibat pergolakan itu.
Namun, PKI memanfaatkan situasi genting itu demi kepentingannya sendiri. Keterlibatan Natsir dkk dalam PRRI distigmakannya sebagai keharusan bagi pemerintah untuk mencabut hak hidup Partai Masyumi. Maka, melalui Keppres Nomor 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960, rezim saat itu resmi membubarkan-paksa Masyumi.