Scroll Down
Kita dasarkan perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian. Kami yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hambanya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berdasarkan kesucian batin …. Kita insya Allah akan menang jika berjuang kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan (1948).
SHARE
Apa yang Anda lakukan saat berusia 30 tahun? Bagaimana bila Anda diserahi tanggung jawab menjadi panglima Tentara Rakyat Indonesia di usia itu? Tugasnya macam-macam: Mengatur tentara dan laskar yang jumlahnya ratusan ribu dan belum terorganisasi. Menyiapkan struktur organisasi tentara modern. Memadamkan pemberontakan kawan seperjuangan. Menghadapi macam-macam politisi dari berbagai partai. Menyiapkan armada perang menghadapi Belanda dan Inggris. Bergerilya di hutan, gunung, sungai, desa dengan ditandu. Beranikah Anda menerima tanggung jawab sebesar itu? Perkenalkan, Soedirman (29 tahun), putra petani kelahiran Desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, yang mengambil lowongan prestisius tersebut.
Soedirman jelas memiliki beban berat. Ia harus mengonsolidasikan kekuatan tentara yang terserak dan milisi-milisi lokal di seluruh nusantara. Setiap milisi memiliki panglima dan ketuanya tersendiri dan aliran politik ataupun organisasi masyarakatnya masing-masing. Saat itu pula ada dua faksi besar di militer Indonesia, yakni: Faksi Pembela Tanah Air (PETA) dan faksi Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). PETA adalah program bantuan militer bentukan penjajah Jepang. Sementara, KNIL ada program bentukan penjajah Belanda. Selain itu, Soedirman juga harus berhadapan dengan bermacam watak dan arah politik para tokoh kemerdekaan. Yang satu ingin menarik ke kiri, yang lain ingin ke belok kanan. Ada yang bersikukuh tetap di tengah. Ada tokoh yang ingin revolusioner. Ada yang kokoh harus menjalankan diplomasi perlahan. Pada saat yang sama, ancaman serangan selalu datang dari tentara Belanda yang tidak ingin membiarkan Indonesia merdeka. Dari sini kita bisa melihat, kapasitas kepemimpinan dan manajerial apa yang dimiliki Soedirman untuk bisa menengahi itu semua. Lantas, bagaimana karakter dan kapasitas ini terbentuk? Seperti apa Soedirman kecil sampai remaja membangun dirinya?
Wong Cilik dan Priayi
Kementerian Pertahanan pada 1977 menegaskan Soedirman lahir pada 24 Januari 1916. Bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 1336 Hijriyah. Versi lokal menyebutkan, Soedirman lahir pada Senin Pon di bulan Maulid. Orang tuanya, ditegaskan juga oleh Kemenhan, adalah Karsid Kartawiradji dan Sijem. Keluarga Soedirman bermukim di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Namun, sejak bayi, Soedirman sudah ikut pamannya, R Tjokrosunaryo, bermukim di Rembang. Sang paman yang hidupnya jauh lebih berkecukupan ketimbang orang tua kandung Soedirman. Tjokrosunaryo menjadi asisten wedana (camat) Rembang. Setelah pensiun, ia pindah ke Cilacap. Pamannya disebut menjadi pedagang mesin jahit dan penasihat pengadilan negeri Cilacap. Di sini, Soedirman menghabiskan masa remaja dan dewasanya.
Soedirman dibesarkan dalam perpaduan dua subkultur di Jawa. Sardiman, dalam bukunya, Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah (2000) menegaskan lingkungan keluarga besar Soedirman kental kultur wong cilik dan kultur priayi. Kultur wong cilik ia dapat dari keluarga aslinya, sementara kultur priayi dididik oleh keluarga pamannya. Laku kultur yang pertama itu, di antaranya kesederhanaan, prihatin, kerja keras, kerja fisik, seperti membersihkan rumah, menyirami tanaman, mengambil air untuk mengisi bak mandi, mengambil air untuk memasak, mengisi padasan untuk wudhu, mencuci piring, cangkir, dan alat rumah tangga lainnya. Termasuk juga Soedirman ngemong adiknya satu-satunya, Mohammad Samingan.
Sementara dari kultur priayi, menurut Sardiman, Soedirman diajarkan adat adiluhung, adat istiadat, sopan santun, unggah-ungguh, menghargai akhlak, bermulut baik, patuh dan hormat orang tua. Salah satu contoh yang pernah terekam soal Soedirman cilik adalah saat ayah angkatnya, R Tjokrosunaryo, bertamu ke kediaman R Sumoyo. Sumoyo adalah tokoh Boedi Oetomo lokal. Pamannya dan Sumoyo bercakap-cakap di ruang dalam. Sementara, Soedirman tetap menunggu di luar sambil duduk bersila. Ia baru masuk saat namanya dipanggil. Dengan laku dodok atau berjalan jongkok, Soedirman menghampiri pamannya.
Majalah Senakatha Pusjarah TNI edisi 100 Tahun Soedirman (2016) juga memotret masa kecil Soedirman dari sisi pendidikan keagamaan Soedirman. Layaknya anak desa umumnya, ia mengaji di surau dengan ulama lokal. Soedirman kerap mengajak adiknya, Moh Samingan, ke surau.
Menurut kesaksian Siti Sukiyah, anak Moh Samingan, ayah, dan pamannya belajar mengaji pada KH Qahar. Keduanya belajar mengaji mulai dari turutan atau Juz 'Amma baru kemudian pindah ke Alquran utuh sampai khatam. Soedirman lancar membaca Alquran. Soedirman kecil juga dikenang memiliki suara yang cukup bagus. Meski karakternya pendiam, ia kerap ditunjuk untuk menjadi penyiar azan dan iqamat di surau oleh teman-temannya.
Selain mempelajari baca tulis Alquran, Soedirman juga belajar tentang Islam secara lebih luas. Pemahaman agama Soedirman kecil disebut-sebut jauh melebihi rekan-rekannya. Ia menjadi pembantu guru agama. Soedirman mendapat pendalaman Islam dari guru sekolahnya, yakni Pak Saidun dan tokoh Muhammadiyah setempat R Moh Kholil Marto Saputro. Oleh kawan-kawannya ia sempat disebut sebagai 'hajine' alias 'pak haji kecil' karena sikap dan perilakunya yang agamis.
Moh Samingan, dalam wawancaranya dengan TNI AD pada 1970, mengingat: Kakaknya jarang sekali tidur sebelum tengah malam. Selain itu, Soedirman dikenang rajin puasa sunah dan tak lepas salat Tahajud. Dalam satu kejadian saat pamannya meninggal dan keluarga tak punya uang untuk Soedirman melanjutkan sekolah menengahnya, laku prihatin dijalankan. "Soedirman biasa tidur di lantai beralaskan tikar yang ditempatkan di dekat jendela di sisi kanan rumahnya," kata Samingan. Sang adik akhirnya mengikuti kebiasaan ini. Keduanya tidur di atas tikar di lantai dengan kepala menghadap ke jendela. Dengan begitu, kedua kepala kakak beradik ini membentuk sudut 90 derajat.
Nostalgia tidur di tikar ini pernah diulangi Soedirman saat ia sudah menjadi Panglima Besar. Kisahnya pada akhir 1946 Soedirman melawat ke Purwokerto untuk memberi pejelasan soal dampak Perjanjian Linggarjati pada pejabat sipil dan militer di sana. Selepas salat Jumat, Soedirman mampir sejenak menengok adiknya di Kota Cilacap. Panitia persiapan sudah menyewa satu kamar losmen untuk Soedirman. Ia meminta Moh Samingan untuk mampir ke losmennya. Di sini kedua kakak beradik itu mengobrol sampai larut malam. Ia meminta Samingan menginap, "Tidur di sini saja, Dik." Panglima lalu meminta tikar ke pengawalnya di luar. Tikar ia gelar di dekat jendela kamar. Di atas tikar ini lalu kakak beradik itu tidur seperti saat mereka kecil dulu. "Seperti dulu ya, Dik. Kau membujur ke sana, aku membujur ke sini." Kasur empuk di atas dipan losmen dibiarkan menganggur. []
Tempat Tanggal Lahir
24 Januari 1916, Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Wafat
29 Januari 1950
Silsilah
Ayah: Karsid Kartawiradji
Ibu: Sijem
Paman: R Tjokrosunaryo
Bibi: Tarsem
Keluarga
Istri: Afiah
Anak:
1. Ahmad Tidarwono
2. Taufik Effendi
3. Didi Praptiastuti
4. Didi Sutjiati
5. Didi Pudjiati
6. Titi Wahjuti Setyaningrum
7. Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi
Pendidikan
Pekerjaan
Karier Militer
SOEDIRMAN
Stevy Maradona
Redaktur
Kreatif
D. Purwo Widjianto
Baskoro Adhy
Nur Adi Wicaksono
Gilang EF
repro buku panglima besar jenderal soedirman, tjokropranolo