Panglima Soedirman ditandu dalam perjalanan gerilya keselatan Jawa, 1949.

Dalam menghadapi keadaan apa pun jangan lengah, sebab kelengahan menimbulkan kelemahan dan kelemahan menimbulkan kekalahan, sedang kekalahan menimbulkan kesengsaraan (1949).

SHARE

Mengapa Soedirman? Mengapa bukan tokoh militer lain ya

ng lebih senior untuk menjadi panglima besar tentara? Saat it nesia Anhar Gonggong, ada tiga basis militer di tentara republik. Pertama adalah Pembela Tanah Air (PETA), kedua adalah Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), dan ketiga adalah laskar-laskar perjuangan milik organisasi masyarakat. Sudah banyak muncul tokoh-tokoh militer. Sebut saja Oerip Soemohardjo (kepala staf umum tentara), Gatot Soebroto, Didi Kartasasmita, dan Jatikusumo. Namun, angin keberuntungan memihak pemuda yang belum genap 30 tahun tersebut untuk menjadi pemimpin tentara rakyat.

 

Panglima Tentara Keamanan Rakyat yang resmi dan sudah ditunjuk pemerintah saat itu adalah Soepriyadi. Soepriyadi dikenal sebagai pemimpin gerakan pemberontakan PETA di Madiun. Masalahnya, sejak ditunjuk sampai dengan merdeka, dan situasi tentara dalam krisis kepemimpinan, Soepriyadi ini tidak pernah tampil. Belakangan diduga ia tewas terbunuh oleh tentara Jepang.

 

Pemerintah Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Soetan Syahrir pun meminta harus ada pertemuan seluruh pemimpin tentara untuk menentukan masa depan mereka. Agendanya soal reorganisasi tentara dan agenda sisipan memilih pemimpin tentara. Pertemuan digelar pada 12 November 1945 di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta. Hadir selain dari kelompok militer di situ adalah Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X. Wakil wilayah dalam pertemuan itu agak pincang. Tercatat, hanya Jawa Barat dan Jawa Tengah yang lengkap perwakilannya. Jawa Timur absen sebab di tengah serbuan tentara Inggris dan Belanda dalam perang 10 November. Perwakilan Sumatra hanya mengirimkan Kolonel Mohammad Noeh, yang mengklaim mewakili enam divisi. Tidak ada wakil dari Kalimantan dan Sulawesi.

 

Anhar mengatakan, saat itu berdasarkan kalkulasi rasional, kemungkinan Oerip menjadi panglima jauh melampaui Soedirman. Apalagi, Oerip diutus langsung oleh pemerintah untuk mengorganisasi divisi-divisi perang di Jawa dan Sumatra. Oerip unggul dari segi senioritas, kemampuan pengorganisasian, dan kepangkatan sebagai letnan jenderal. "Soedirman pangkatnya hanya kolonel dan baru beberapa tahun menjadi tentara PETA," kata Anhar saat diwawancarai, pekan lalu.

 

Dalam buku yang ditulis eks ajudan Soedirman, Tjokropranolo, berjudul Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal (1993) dirunutkan bagaimana detik-detik pemilihan tersebut:

 

..."Suasana rapat menjadi makin hangat dan ramai tatkala pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR dimulai, tetapi karena yang hadir belum siap untuk mengajukan calon masing-masing, maka atas prakarsa Pak Dirman rapat diskors sebentar. Pada saat itu nampaknya sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Pak Dirman yang ketika itu berpangkat kolonel dan termasuk pimpinan yang perlengkapan dan senjata pasukannya tergolong paling banyak. Profesi ketentaraan Pak Dirman adalah seorang berpendidikan PETA; sedang profesi sipil beliau adalah sebagai guru sekolah Muhammadiyah, pemimpin Pemuda Muhammadiyah, pimpinan Koperasi Kabupaten, dan sebagai anggota Dewan Daerah DPRD. Pula sebagai pimpinan baik pramuka Hisbulwathon maupun Kepanduan Bangsa Indonesia. Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis, dan pada papan tulis dicantumkan nama-nama calon, di antaranya yakni Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Prabunegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir.

Republik Indonesia mengangkat seorang guru SD menjadi panglima besar. Tahu apa guru sekolah itu!

 

 

Kutipan surat kabar Belanda perihal pelantikan Soedirman sebagai panglima TKR.

SHARE

"Pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu per satu, setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama dua orang calon gugur. Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, giliran nama Kolonel Soedirman disebut. Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali (catatan: pernyataan ini diperoleh dari Pak Jatikusumo yang disampaikan pada peringatan wafatnya Pak Dirman pada 9/2/1991). Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Pak Dirman dan Pak Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatera yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Pak Dirman. Dalam rapat itu, Pak Dirman sebagai salah satu bekas opsir PETA yang pada waktu itu baru berusia 29 tahun, terpilih sebagai Panglima TKR. Kenyataannya ada perwira-perwira yang usianya lebih tua dari beliau dan hampir semua perwira komandan panglima di daerah-daerah berasal dari PETA dan Gyugun. Hal itu merupakan keputusan yang psikologis sangat bijaksana apabila yang menjadi panglima adalah juga berasal dari perwira PETA. Mungkin juga beliau terpilih karena dalam kenyataannya para komandan adalah unsur PETA.

 

"Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta untuk tetap menjadi kepala staf umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda. Di samping itu juga, tokoh ini adalah seorang profesional di dalam urusan organisasi kemiliteran. Tetapi di pihak lain, latar belakang militernya sebagai seorang bekas opsir KNIL membuat dirinya dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda usianya. Ini dapat dimengerti karena mereka-mereka ini tidak dididik dan dilatih oleh Belanda, musuh kita pada saat itu. Mereka-mereka pada waktu itu tidak bersedia memberikan kepercayaan dan dukungan kepada orang-orang yang pernah ikut Belanda.

 

"...Akibatnya banyak dari perwira-perwira TKR yang mendukung Pak Dirman untuk menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di jajaran TKR. Mengapa Pak Dirman? Apakah beliau dikenal baik oleh semua komandan divisi di Sumatera dan di lain-lain daerah? Bentuk perawakannya tidak sekokoh rekan perwira yang lainnya, meskipun pernah mengikuti latihan PETA sebagai daidancho, namun sifat hakikinya adalah seorang pendiam, teguh hati, lemah lembut dalam bertutur kata, tetapi tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. Beliau lebih banyak mendengar pendapat orang lain, tetapi cepat mengambil kesimpulan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapa pun.

 

"Memang di kalangan perwira-perwira Jawa yang besar jumlah anggotanya, Pak Dirman mempunyai kelebihan daya tarik dan dipandang punya kharisma yang besar. Setidaknya di zaman pendudukan Jepang beliau pernah duduk sebagai anggota Dewan Daerah Syu Sangi Kai di Purwokerto Jawa Tengah, sehingga sedikit banyak mempunyai pengalaman di bidang sosial politik.

 

"Mungkinkah pilihan itu diberikan berkat kepemimpinannya selama hari-hari pertama pembentukan BKR di Banyumas, yang mengadakan perlucutan senjata terhadap balatentara Jepang dengan jalan diplomasi tanpa banyak korban. Atau karena Pak Dirman memimpin divisi yang persenjataannya lebih banyak yang diperoleh dari hasil penyitaan dari pihak Jepang sehingga dapat membantu divisi lain yang kekurangan persenjataannya?

 

..."Ataukah karena beliau seorang yang pernah menjabat sebagai guru Muhammadiyah yang biasanya memiliki sifat kebapakan. Ataukah karena beliau selalu tekun menjalankan agamanya yaitu agama Islam sehingga beliau berkat rahmat dan bimbingan Allah SWT lahir sebagai seorang pemimpin..." []

Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Panglima Soedirman dalam satu pertemuan di Yogyakarta.

Wawancara Abdul Haris Nasution, Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa Partai (2007).

Bagaimana dengan rumor bahwa pada saat pemilihan Panglima Besar, kelompok PETA dan KNIL saling berebut untuk jabatan itu?

Saya kira idak saling berebut. Malah tak ada usul-usulan.

 

Namun, bukankah akhir kemenangan kelompok PETA ditandai dengan terpilihnya Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar? Sebagai utusan Jawa Barat bisakah diceritakan kembali peristiwa itu?

 

Tadinya saya memilih Pak Oerip, karena dia sebagai pensiunan mayor bersedia menjadi penasihat para pemuda. Jadi, kami hargai betul hal itu. Kami yang menentukan pemilihan itu. Peran KNIL dan PETA tidak terlalu kelihatan saat itu. Menurut saya, yang hadir di situ tidak ada yang berebutan, cuma tentu kita mengusulkan Pak Oerip karena ia telah lebih dulu menjadi kepala staf umum tentara waktu itu. Pak Dirman datang setelah itu. Namun, yang terpilih adalah Pak Dirman, karena beliau mendapat tambahan suara dari Sumatra Selatan.

 

Jadi?

Saya kira mungkin PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang selalu berpikir soal perpecahan KNIL dan PETA. Bagi saya hal itu tidak berlaku. Pada masa Jepang saya sudah menjabat di Badan Pembantu Prajurit.

 

Beda antara mantan KNIL dan mantan PETA dalam tubuh tentara Indonesia?

Jelas yang mantan KNIL itu hanya sebagai alat. Namun, yang mantan PETA dalam tubuh Indonesia punya semangat sendiri dan semangat itu kan datang dari Jepang, antara lain semangat bushido. []

Suara dari Jawa Tengah Kajian lain dari Ulf Sundhaussen di dalam bukunya yang berjudul Road to power: Indonesian military politics 1945-1967 (1982) menyoroti pemilihan panglima tentara ini. Menurut Ulf, ada dua faktor yang memicu kemenangan Soedirman dalam rapat tersebut. Pertama adalah profil ketokohan Soedirman, kedua adalah komposisi peserta rapat. "... Soedirman seorang bekas guru dia punya prestise sosial yang tinggi. Sebagai seorang Muslim yang taat dia sangat disenangi oleh golongan Islam dalam korps perwira. Sementara itu, Soedirman juga punya pengetahuan yang mendalam mengenai mistik dan nilai-nilai tradisional Jawa, dan karenanya dia mempunyai daya tarik bagi korps perwira Jawa yang besar jumlah anggotanya. Di zaman pendudukan Jepang dia pernah duduk dalam dewan-dewan daerah di Jawa Tengah, sehingga sedikit banyak dia mempunyai pengalaman dalam bidang politik. Soedirman pernah merupakan salah seorang opsir paling muda yang memimpin batalyon PETA, tapi demikian dia tak pernah bertindak sebagai sekadar boneka di tangan opsir-opsir Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan dia segera menghimpun kembali batalyonnya yang lama dan melucuti semua pasukan Jepang di daerah asalnya, Banyumas, Jawa Tengah. Karena itulah dia dapat membagikan senjata kepada kesatuan kesatuan BKR yang kurang lengkap persenjataannya. Di medan perang dia menjadi terkenal karena mampu memukul mundur sebuan satuan tugas Inggris di Ambarawa. Namun, yang juga sangat membantu Soedirman untuk terpilih adalah kenyataan bahwa sebagian besar dari perwira yang bersidang itu terdiri dari orang-orang Jawa Tengah. Wakil-wakil dari Jawa Timur sedikit saja jumlahnya karena ketika itu pertempuran sedang berkobar di Surabaya. Begitu pula para utusan dari Jawa Barat, sangat kalah banyak dari rekan-rekan mereka di Jawa Tengah, yang sebagian besar dari mereka memilih Soedirman semata-mata berdasarkan pertimbangan bahwa dia berasal dari daerah mereka juga." Ulf kemudian mengutip analisis Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) yang menilai: "... Soedirman harus dipandang sebagai seorang penggalang setia kawan, sebagai seorang yang memiliki kemampuan-kemampuan integratif, kemampuan dalam penengahan kultural, manipulasi simbol, dan organisasi massa. Dia tak disangsikan lagi memiliki kemampuan untuk menggalang persatuan di kalangan tentara dan mengerahkan dukungan bagi dirinya sendiri, terutama karena dia mampu mengesankan sesama perwiranya dengan integritas dan kejujurannya". Sejarawan UI, Tubagus Luthfi, senada dengan kesimpulan Ulf Sundhausen dan Herbert Feith: Terpilihnya Soedirman turut dipicu dari sikap pribadinya yang jujur, bertanggung jawab dan taat beragama. Ketiga sikap itu amat laku di masa menjaga kemerdekaan. Sebab, ketika itu, tak sedikit pejuang memalingkan matanya ke Belanda demi kepentingan pribadi. Belanda menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia yang bersedia tunduk. "Dia ini membumi. Sifat jujur, taat beragama dan bertanggung jawab sangat laku. Bisa dibayangkan saat itu banyak yang berkhianat. Jadi, KNIL karena mau gaji gede. Dibikin sistem negara federal, dipimpin Ratu Belanda, tetap ada yang mau," kata Tubagus. []

repro buku panglima besar jenderal soedirman, tjokropranolo

Stevy Maradona

Redaktur

Rizky Suryandika

Reporter

Kreatif

D. Purwo Widjianto

Baskoro Adhy

Nur Adi Wicaksono

Gilang EF

 

Mengapa Dia Panglima?

Hal 1

Hal 2

Hal 3

Hal 4

Hal 6

Hal 5