Pemimpin

yang tidak

Grusa-grusu

Hal 1

Hal 2

Hal 3

Hal 4

Hal 5

Hal 6

Bowo pribadi/republika

Monumen Palagan Ambarawa

Satu-satunya hak nasional republik yang masih tetap utuh tidak berubah-ubah, meskipun harus menghadapi segala macam soal perubahan adalah hanya angkatan perang Republik Indonesia.

SHARE

Oleh: Bowo Pribadi

 

Seandainya Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Resimen 1 Divisi V Purwokerto, Letkol Isdiman tidak gugur setelah tiba di Jambu--salah satu wilayah Kawedanan Ambarawa--sejarah bisa saja mencatat ‘episode lain’ Kolonel Soedirman dalam Perang Ambarawa.

 

Namun, Allah SWT telah menakdirkan, gugurnya perwira kepercayaan Soedirman itu, membuat sang kolonel turun gunung. Soedirman akhirnya mengorganisasi kekuatan perlawanan di Ambarawa dan sekitarnya--akibat serangan udara Sekutu, 25 November 1945. Ini dua pekan setelah ia terpilih menjadi panglima TKR lewat voting di Yogyakarta.

 

Sebagai panglima TKR, Soedirman kemudian memimpin sekaligus menjadi aktor penting dalam strategi pertempuran memukul Sekutu yang diboncengi organisasi semimiliter Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) di Ambarawa.

 

Puncaknya berlangsung pada 12 hingga 15 Desember 1945, saat dilakukan serangan umum untuk menduduki Ambarawa dan selanjutnya dikenal dengan Palagan Ambarawa. Kerja sama TKR bersama elemen laskar dan rakyat mampu menaklukkan kekuatan Sekutu yang pada saat itu masyur sebagai ‘raksasa’ Perang Dunia. Berbekal strategi perang (tata yudha) supit urang atau capit udang, pasukan Soedirman dkk memukul mundur Sekutu ke Semarang.

 

Pemerhati sejarah Palagan Ambarawa, Indun Mawarti, mengatakan, Kolonel Soedirman menyadari perlawanan serta upaya untuk memukul Sekutu--yang mulai membuat kekacauan di mana-mana saat mundur dari Magelang dan menduduki Ambarawa—tidak bisa dilakukan secara sporadis.

Apalagi, Sekutu mendapatkan bantuan pasukan dari Semarang. Bahkan dalam merespons reaksi TKR dan sejumlah faksi perlawanan di sekitar Ambarawa, Sekutu dan NICA harus membumihanguskan sejumlah basis perlawanan, baik dengan serangan darat dan udara.

Soedirman berhasil mempersatukan seluruh unsur perjuangan, seperti tentara PETA dan tentara KNIL, untuk melawan sekutu dan Nica di pertempuran Ambarawa

SHARE

Terhadap situasi yang makin tidak menguntungkan ini, Kolonel Soedirman pun menyiapkan rencana dan siasat untuk memukul kekuatan Sekutu dari Ambarawa dan merebut kota kawedanan tersebut. “Rencana itu dimulai dengan mengirim Letkol Isdiman ke Ambarawa, untuk mengorganisasi kekuatan TKR dan mengatur siasat merebut Ambarawa,” lanjut Indun yang juga mantan Pamong Budaya di Kecamatan Ambarawa, kepada Republika pekan lalu.

 

Ambarawa memang harus direbut. Kota ini amat strategis bagi militer di Jawa Tengah. Kepala Bidang Dokumentasi Pusat Sejarah TNI Letkol CAJ Kusuma mengatakan, kontur Ambarawa di dataran tinggi membuat siapa pun yang menguasai kota itu mampu memantau kota-kota penting Jawa Tengah. "Bisa memantau ke Semarang, ke Yogyakarta, ke Solo. Kan karena daerahnya datar. Posisi ini harus ada, karena kalau tidak di sini, kita bisa kalah. Itu taktik tempur klasik," kata Kusuma kepada Republika, pekan lalu.

 

Perihal ini juga dituangkan dalam buku Sekerat Kisah Pertempuran Ambarawa Sebuah Catatan Harian Sarmuji, seorang mantan Heiho dan TKR yang sekaligus juga pelaku sejarah Palagan Ambarawa. Mengutip catatan Sarmuji, Kolonel Soedirman ingin agar Mayor Imam Androngi–yang setelah merebut Pingit dan merangsek hingga Jambu--tidak memikul tugas ganda sebagai komandan pasukan sekaligus perwira siasat. Tugas itu sedianya akan dibagi dengan Letkol Isdiman.

 

Namun, gugurnya Letkol Isdiman oleh senapan mesin 12,7 mm yang dimuntahkan dari pesawat Mustang Belanda, sebelum timbang terima dengan Mayor Imam Androngi, di markas BKR (sekarang SD Isdiman) di Desa Kelurahan, merupakan pukulan berat bagi Kolonel Soedirman.

 

Ia akhirnya memimpin sendiri pengorganisasian kekuatan TKR dan Laskar sekaligus dalam merancang siasat penyerbuan Ambarawa. Persiapan pelaksanaan serangan umum ini dimatangkan di rumah Carik Soewito, yang merupakan Carik Desa Kelurahan, di Dukuh Krajan, Kecamatan Jambu, pada Selasa Pahing, 11 Desember 1945, pukul 20.00 WIB.

“Rumah Carik Soewito yang kini masih ada dan dipertahankan bentuknya, berada di pinggir jalan utama Magelang-Ambarawa, tepatnya berseberangan dengan pertigaan menju Brongkol, Kecamatan Banyubiru,” kata Indun yang juga kasi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Jambu ini.

 

Sementara, Sarmuji dalam bukunya menuliskan, mengutip pernyataan Mayor Imam Androngi, Kolonel Soedirman merupakan sosok yang memiliki karakter ora seneng grusa-grusu, tansah setiti ngati-ati. Yakni tidak gegabah selalu teliti dan cermat, khususnya dalam memperhitungkan sebuah rencana, termasuk dengan rencana serangan merebut Ambarawa. Empat hari sebelum tanggal 11 Desember 1945, melalui perantara caraka, Kolonel Soedirman telah menyampaikan surat perintah kepada seluruh komandan sektor utara, timur, dan selatan untuk berkumpul di rumah Carik Soewito, pukul 20.00. Pada hari yang telah ditentukan, Kolonel Soedirman menjabarkan tata yudha supit urang kepada sekitar 30 orang komandan serta perwakilan sektor.

 

Strategi ini dipilih dengan pertimbangan jumlah pasukan dan persenjataan yang sangat sederhana dan kontur kota Ambarawa yang berada pada daerah kemiringan. Strategi ini menggempur posisi musuh dari Bedono-Jambu hingga Ambarawa, menekan sekuat-kuatnya dan menjepit musuh dari sisi kanan dan kiri dalam waktu yang bersamaan.

 

Kolonel Soedirman menekankan, seluruh sektor bergerak serentak dalam waktu yang sama dan pantang bergerak per kelompok tanpa kendali komando. Serangan akan dimulai serentak bakda Subuh. Guna meyakinkan seluruh kekuatan tersebut, Kolonel Soedirman memberikan kata akhir, “Siap dan mampukah saudara-saudara melakukan gerak supit urang ini?” hingga tidak ada satupun perwakilan sektor yang menyatakan untuk tidak siap. “Demikian perintah saya, percaya kepada kekuatan sendiri, kebesaran dan keadilan Tuhan, selamat berjuang dan terima kasih!”

 

Serangan mendadak yang dilaksanakan serempak pada pagi buta, Rabu, 12 Desember 1945, sangat mengejutkan Sekutu. Apalagi, serangan gencar dari depan ini dibarengi dengan gempuran dari sisi kanan dan kiri dalam formasi menjepit. Sarmuji mengisahkan, akibat serangan mendadak ini, tentara Sekutu yang coba memberikan perlawanan justru mengarahkan senapan mesin dan pelontar granat tanpa sasaran.

 

Secara bergelombang, kekuatan Sekutu mundur menuju ke arah Semarang dan berangsur kekuatan mereka di Ambarawa semakin berkurang. Hingga berakhirnya baku tembak pada Sabtu Legi 15 Desember 1945, Ambarawa jatuh ke tangan TKR pimpinan Kolonel Soedirman.

 

Strategi supit urang, menurut sejarawan UI, Tubagus Luthfi, secara teknologi sulit dilakukan oleh tentara Indonesia. Sebab, peralatan komunikasinya nyaris nol. Penyerangan serentak dan besar, terkoordinasi dengan jumlah pasukan masif, sewajarnya membutuhkan alat telekomunikasi memadai. Soedirman hanya mengandalkan rapat koordinasi yang dilakukan dadakan semalam sebelumnya.

Selain itu, sambung Luthfi, keberhasilan supit urang tak lepas dari sosok Soedirman. Seluruh unsur perjuangan baik PETA, KNIL, maupun Laskar berhasil ia persatukan. Soedirman terkenal bisa dekat dengan banyak kelompok perjuangan ketika itu. Jumlah pasukan mampu meningkat berkali-kali lipat. Menurut Luthfi, Soedirman telah mengkaji betapa pentingnya mempersatukan seluruh elemen perlawanan di bawah satu panji.

 

"Soedirman pandai rekrut orang-orang di luar PETA. Sebetulnya masing-masing punya afiliasi ideologi susah dijadikan satu, tapi saat itu semua mau lawan sekutu. Itu yang tidak dilirik orang lain, padahal konteks semangat ini penting," tutur dia. []

‘Kita Butuh Museum Khusus Perang Gerilya’

 

Pemerintah Indonesia dianggap belum mampu menampilkan kegagahan militer secara mumpuni. Berbagai museum dirasa tak maksimal menonjolkan keperkasaan tentara dan rakyat saat menghadapi tentara kolonial. Padahal, kehebatan persatuan tentara dan rakyat sering membuat tentara kolonial kocar-kacir.

 

Pengamat militer Muradi mencontohkan, Turki memiliki museum perang yang menggambarkan kehebatan Mustafa Kemal Attaturk. Kemudian, Vietnam juga mempunyai museum perang yang menyajikan strategi Vietcong menang melawan Amerika.

 

Ia merasa apresiasi negara belum cukup hanya dengan mengabadikan Panglima Besar Soedirman sebagai nama jalan. Sebab, Soedirman punya sejarah perjuangan luar biasa untuk diabadikan, khususnya museum perang dengan harapan dapat menampilkan gerilya yang mampu melumat tentara Belanda dan Inggris.

EKO WIDIYATNO/republika

Museum ejak militer Panglima Soedirman, Purwokerto.

"Yang penting itu bangun museum perang, karena belum ada. Cuma ada museum militer. Saya kira, kalau ada waktu dan donatur, negara ada kebijakan perlu bikin. Negara lain ada," katanya kepada Republika, Selasa, (8/1).

 

Ia melihat pemerintah belum mampu menampilkan kehebatan perang gerilya secara maksimal. Alhasil, generasi muda tak punya gambaran utuh mengenai perang gerilya. Padahal, ia menyarankan museum perang dapat menampilkan strategi terkenal khas Indonesia lewat diorama atau film.

 

"Gerilya Soedirman enggak pernah kebayang gimana secara jelas. Cuma ada senjata saja. Kita butuh museum untuk gambarkan strategi perang tokoh penting," ujarnya.

Di sisi lain, ia menganggap napak tilas perjuangan Soedirman di Jawa Tengah-Jawa Timur masih relevan dilakukan, baik oleh TNI maupun Polri. Rute itu pun terbuka bagi masyarakat yang ingin mencobanya. Muradi yang pernah menempuh rute itu mengakui, ia disambut dengan baik oleh warga sepanjang jalan. Hal itu, kata dia, menunjukkan hubungan baik Soedirman dengan rakyat sampai saat ini. "Masih relevan kok untuk dilakukan," kata Muradi. []

Tapak Militer Hindia Belanda

 

Mengapa Ambarawa begitu penting dan harus dikuasai bagi Kolonel Soedirman? Pemerhati sejarah Palagan Ambarawa, Indun Mawarti, menjelaskan, Ambarawa merupakan ibu kota kawedanan merupakan tapak militer Hindia Belanda. Setidaknya ini bisa diketahui dari keberadaan sejumlah infrastruktur yang menjadi simbol kekuatan Belanda di Jawa Tengah. Mulai dari Port Willem I dan Stasiun Willem I (sekarang Stasiun Ambarawa) yang terhubung dengan Stasiun Jambu maupun Stasiun Bedono.

 

Selain itu, juga ada markas Koninklijk Nederlandch-Indische Leger (KNIL) di Banyubiru. Kolonel Soedirman, juga berhitung, keberadaan tapak militer di kota Ambarawa, yang berjarak sekitar 82 kilometer dari markas besar TKR di Yogyakarta–secara strategi militer—bisa membahayakan.

BOwo pribadi/republika

Rumah carik tempat Soedirman merencanakan serangan Ambarawa.

Bahkan jika diabaikan, Amabarawa bisa menjadi pangkalan Sekutu kedua setelah mereka hengkang dari Magelang. “Sehingga, Kolonel Soedirman selaku panglima TKR sangat berkepentingan merebut Ambarawa,” kata dia.

Sedangkan bagi Sekutu, selain merupakan tapak militer, Ambarawa juga menjadi kamp konsentrasi interniran terbesar yang pernah ada di Pulau Jawa. Pada saat pembebasan para tawanan menyusul kekalahan Jepang, para interniran dari berbagai wilayah di Jawa juga dikumpulkan di Ambarawa, yang memiliki infrastruktur jalan raya maupun kereta api yang terhubung langsung dengan Semarang.

 

Setidaknya ada enam kamp konsentrasi interniran yang saat itu dihuni para warga belanda eks KNIL, interniran wanita Belanda dengan dan anak-anaknya (sinyo/ noni), pada saat pendudukan Jepang.

 

Untuk mengenang keberanian dan kegigihan para pejuang (TKR dengan rakyat) dalam pertempuran di Ambarawa ini, telah diabadikan dalam Monumen Palagan Ambarawa, yang berada di jantung Kota Ambarawa, Jawa Tengah. []

Stevy Maradona

Redaktur

Bowo Pribadi

Reporter

Kreatif

D. Purwo Widjianto

Baskoro Adhy

Nur Adi Wicaksono

Gilang EF