KH MA'RUF AMIN

Menjadikan Hipmi Milik Semua

Seperti roda, kehidupan seorang Bahlil Lahadalia terus berputar. Terkadang, ia berada di posisi bawah yang disebutnya sebagai masa 'setengah monyet' dan terkadang, ia ada di posisi atas. Hal ini membuatnya merasa lebih kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.

 

Keluar dari zona nyaman yang sudah memberikannya kepastian materiil dan masa depan sudah menjadi bagian dari kehidupan Bahlil. Ia pernah keluar dari perusahaan yang memberikannya gaji puluhan juta rupiah, mobil, hingga rumah. Namun, lelaki kelahiran 1976 ini memutuskan untuk kembali berjuang dan merintis usaha dari nol lagi.

 

Dengan berbagai perjuangannya, kini Bahlil menjadi pengusaha nasional. Pada Musyawarah Nasional (Munas) Hipmi tahun 2014, Bahlil dikukuhkan sebagai ketua umum. Saat itu, ia harus bersaing dengan sederet pengusaha yang berasal dari keluarga konglomerat. "Sedangkan saya anak konglomelarat. Waktu saya maju, banyak yang pesimistis saya menang," kata dia.

 

Pria yang tumbuh dan besar di Papua itu berhasil membuktikan untuk menjadi ketua umum (Hipmi) tak harus berasal dari latar belakang keluarga konglomerat. Berbagai gerakan baru dibuat Bahlil, sampai kini Hipmi dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat.

 

Harian Republika menobatkan Bahlil sebagai salah satu penerima anugerah Tokoh Perubahan 2018. Berikut adalah petikan wawancara wartawan Republika Adinda Pryanka bersama pengusaha muda asal Papua itu di Jakarta, Kamis (18/4).

Bagaimana awal mula Anda masuk Hipmi?

Perjalanan saya di Hipmi dimulai di tingkat kota Jayapura terlebih dahulu. Saat itu, pada 2004, saya masih menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Cabang Hipmi Jayapura. Dua tahun setelahnya, saya diangkat sebagai wakil bendahara Dewan Pimpinan Daerah Papua hingga terpilih sebagai ketua umum Hipmi Papua pada 2007. Waktu itu, saya dilantik Sandiaga Uno yang sedang menjabat sebagai ketua umum Hipmi.

 

Saya mulai masuk Hipmi pada periode kepemimpinan Erwin Aksa, yakni 2008-2011. Saya masuk dari struktur terendah dulu, yakni di departemen kemudian naik ke kompartemen. Tidak lama, saya diangkat jadi ketua bidang infrastruktur. Lalu, Musyawarah Nasional (Munas) Hipmi pada 2014 akhir, saya dicalonkan sebagai ketua umum Hipmi.

 

Saat itu, saingan saya anak konglomerat semua, sedangkan saya anak konglomelarat. Waktu saya maju, banyak yang pesimistis saya menang. Pertama, secara fisik saya dianggap kurang layak sehingga dapat merusak citra Hipmi. Kedua, belum pernah ada ketua umum Hipmi dari Indonesia Timur.

 

Ketiga, selama ini ketua umum Hipmi selalu anak jenderal, konglomerat, atau anak menteri. Rata-rata mereka pun lulusan universitas luar negeri. Saya hanya lulus dari perguruan tinggi yang bahkan namanya tidak ada di Google.

 

Dengan berbagai hambatan dan rasa pesimistis dari teman-teman sekitar, mengapa Anda tetap berani maju?

Saya punya pandangan, nasib manusia ya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Misalnya, teman-teman saya yang anak konglomerat. Perusahaan mereka mungkin punya orang tua, tapi kalau mereka tidak dapat mengelola dengan baik, ya tidak akan sukses. Seperti yang Allah bilang, Ia tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau tidak berjuang.

 

Setelah melalui proses munas yang tidak sebentar, saya terpilih menjadi ketua umum Hipmi. Saat itu, Hipmi mencatatkan sejarah baru, yakni sudah resmi memiliki ketua dari Indonesia Barat ke Timur, Aceh sampai Papua.

 

Kalau dulu Hipmi terkesan seperti tempat berkumpulnya anak-anak borjuis dan sekadar hura-hura, sekarang Hipmi sudah berbenah diri. Hipmi milik semua anak bangsa yang memang mau menjadi kader Hipmi. Hipmi bukan hanya untuk orang kaya. Hipmi lahir dengan cita-cita mengubah nasib dan pola pikir anak muda untuk menjadi pebisnis.

 

Berbagai perubahan sepertinya sedang dilakukan Hipmi, termasuk dengan turun ke perguruan tinggi, SMK, hingga pesantren. Apa yang mendorong Hipmi melakukan ini dan sejauh mana Hipmi mengukur capaian yang diraih?

Latar belakang kami adalah masih rendahnya jumlah pengusaha di Indonesia. Saat saya baru terpilih jadi ketua umum Hipmi, jumlah pengusaha di Indonesia baru 1,6 persen dari total populasi. Sedangkan dalam teori perkembangan negara maju, jumlahnya minimal dua persen. Bahkan, kalau mau mengikuti standar Bank Dunia, empat persen.

 

Tidak ada satu organisasi di Indonesia yang cita-citanya menjadikan anak muda sebagai pengusaha. Padahal, negara butuh banyak pengusaha karena 76 persen pendapatan negara bersumber dari pajak, bukan lagi sumber daya alam. Pajak paling besar adalah pajak badan. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk memajukan bangsa kecuali mendorong anak muda jadi entrepreneur.

 

Pada saat kami melakukan survei pada 2015, hanya empat persen mahasiswa di Indonesia yang bercita-cita menjadi pengusaha, 84 persen memilih menjadi karyawan, dan sisanya menjadi anggota LSM dan politisi. Ini berbahaya, sementara waktu itu, penerimaan CPNS sedang moratorium.

 

Kita membutuhkan pengusaha by desiya itu dengan menanamkan pemahaman dari sejak mereka masih duduk di bangku kuliah dan sekolah. Jangan jadikan pelajaran entrepreneurship ini sunah, tapi sunnah muakkad.

 

Kami mencoba mengubah pola pikir mahasiswa dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai laboratorium yang mampu mendorong dan menampung keinginan mereka menjadi pengusaha. Mereka tidak lagi terpatok pada HMI, KAMMI, ataupun organisasi yang berpikir politis, tetapi belajar tentang menjadi pebisnis di Hipmi Goes to Campus.

 

Pada 2016, Hipmi sempat mengadakan Jambore Hipmi Perguruan Tinggi Se-ASEAN pertama kalinya yang turut melibatkan enam negara. Pelaksanaannya di Bandung dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

 

Dengan berbagai program yang ada, survei terakhir menunjukkan 11 persen mahasiswa kini ingin menjadi pengusaha. Sebanyak 57 persen masih ingin menjadi karyawan. Saya ingin menunjukkan, opsi untuk menjadi pengusaha sangat besar dan ini menjadi kebutuhan bangsa.

 

Bagaimana dengan di tingkat SMK dan pesantren?

Pada intinya, program ini bertujuan memberikan informasi dan pemahaman kepada generasi muda tentang sistem dagang. Sebab, bisnis ini kan sifatnya membuat jaringan. Ketika Hipmi masuk ke sekolah, pesantren, hingga perguruan tinggi, diharapkan instrumen mereka untuk membentuk jaringan semakin luas.

 

Kami masuk ke sekolah karena kami ingin mereka tidak hanya dididik sebagai pekerja. Mereka harus mimpi untuk menjadi pemilik usaha, pebisnis.

 

Begitu juga dengan para santri di pesantren. Hipmi ingin, santri-santri yang sudah lulus sekolah dan ingin mengabdi di berbagai daerah di Indonesia tidak hanya mengajarkan mengaji atau guru agama di sekolah. Tapi, mereka juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar mereka dengan menciptakan lapangan kerja.

 

Kalau kini di sekolah dan pesantren saja tidak ada instrumen untuk mendongkrak pemahaman tersebut, bagaimana entrepreneurship bisa berkembang. Melalui program ini, saya ingin mereka merasakan manfaat-manfaat yang sudah saya rasakan di Hipmi. Termasuk, bagaimana membuat jaringan dan saling membantu satu sama lain.

 

Idealisme seperti apa yang ingin dibangun Hipmi pada pengusaha-pengusaha muda?

 

Sehebat apa pun kita, kita tidak ada artinya apabila tidak memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah di sekitar kita secara langsung. Di mana, saat ini, permasalahan paling prinsip adalah uang.

 

Apabila mau ibadah dan memberikan manfaat untuk banyak orang, ayo jadi pengusaha. Pengusaha mampu menciptakan lapangan kerja dan menghidupi banyak orang. Jadi, kita bisa mendapatkan amal dunia sekaligus amal akhirat.

 

Kalau kita menjadi karyawan saja, bagaimana bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan menjadi pengusaha, harapannya, kita dapat membantu orang-orang, negara, dan itu adalah tindakan mulia. ‘Cuci otak’ seperti ini yang ingin kami tanamkan.

 

Bagaimana Hipmi punya sinergi yang baik dengan pemangku kepentingan lain untuk membangun jiwa entrepreneurship?

Kami rutin berkomunikasi dengan pemerintah, terutama untuk mendorong pemerintah membuat regulasi. Sebab, bicara sekuat apa pun pengusaha, kami harus tunduk pada payung hukum atau regulasi.

 

Bersama pemerintah, Hipmi sudah menginisiasi pembuatan Rancangan Undang-Undang Kewirausahaan. Melalui regulasi ini, kami berharap, negara melakukan kewajibannya untuk mendorong dunia usaha dalam konteks menambah jumlah usaha dan membuat mereka naik kelas. Sebab, pengusaha kita 99,6 persen berasal dari UMKM, tapi mampu memberikan kontribusi 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menciptakan 100 juta lapangan kerja.

 

Artinya, mereka merupakan aset. Tapi, sampai sekarang, belum ada regulasi yang memayungi mereka dan memberikan ruang pada mereka agar mereka bisa akselerasi dalam memberikan kontribusi kepada negara secara maksimal. Rancangan regulasi ini sudah selesai dan akan masuk ke paripurna.

 

Ada beberapa poin penting dalam regulasi. Salah satunya, kehadiran pemerintah dalam memfasilitasi bagi pengusaha muda, termasuk memberi kemudahan pada mereka untuk meminjam modal kepada perbankan.

 

Kedua, mendorong agar setiap investasi yang masuk, baik asing maupun nasional ke daerah, wajib melibatkan pengusaha lokal untuk jadi mitra. Ini perlu agar tidak terjadi kecemburuan. Poin lainnya, negara harus hadir untuk mengubah usaha kecil jadi menengah dan skala menengah jadi besar.

Bahlil Lahadalia

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)

Mimpi Besar Anak Daerah

Setelah menjalani asam pahit selama ini, Bahlil menilai, perubahan menjadi sesuatu yang esensial dan penting bagi manusia. Perubahan yang dimaksudnya dalam hal ini adalah ke arah positif. Apabila tidak mampu mengubah diri sendiri ke sisi yang lebih positif, seseorang akan terjebak di satu titik atau tidak berkembang.

 

Bahlil mengatakan, setiap orang yang mau maju harus mampu melakukan evaluasi pada diri sendiri dan membenahinya. "Pada akhirnya, orang yang survive adalah mereka yang mau berubah," ujar anak kedua dari sembilan bersaudara ini.

 

Bahkan, Bahlil menambahkan, jangan pernah bermimpi besar untuk mendapatkan sesuatu yang baru dan memenangkan sebuah kompetisi tanpa ada strategi perubahan. Sebab, perubahan adalah salah satu esensi yang penting untuk manusia dapat lebih maju dari kehidupan sebelumnya.

 

Esensi ini yang ingin ditanamkan Bahlil kepada teman-temannya di daerah. Menurut dia, banyak orang daerah yang memiliki kecerdasan dan kemampuan, tapi merasa minder dengan orang kota. Padahal, mereka hebat dan tidak berada di bawah standar orang perkotaan. "Saya ingin, ke depan, banyak orang daerah yang lahir dengan rasa percaya diri dan dapat menjadi pemain di dunia bisnis," ujar Bahlil.

 

Bahlil memiliki mimpi besar, yakni menanamkan rasa percaya diri dan tekad yang kuat kepada seluruh masyarakat di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Baginya, kesuksesan itu milik semua anak bangsa, baik mereka yang di pelosok desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota.

 

Bahlil menilai, kesuksesan hanya didapatkan oleh orang yang mau berjuang dan kesuksesan tidak pernah datang kepada orang tanpa semangat juang (fighting spirit). Mereka yang berani berkorban di awal adalah calon-calon orang sukses.

 

Kepada seluruh masyarakat di daerah, Bahlil mengajak untuk melihat kembali ke dalam diri masing-masing agar berani untuk mengeksekusi dan membuat keputusan besar. Sering membaca buku dan membuat rencana memang penting, tapi keberhasilan tidak akan datang tanpa seseorang melakukan eksekusi. "Membuat keputusan adalah awal dari keberhasilan," kata Bahlil.

 

Sang inspirator

Kerja keras selalu menjadi kunci utama Bahlil dalam menjalani hidup. Hal ini didapatkannya dari kedua orang tuanya. Mereka banting tulang menjadi buruh bangunan dan buruh cuci tanpa pernah mengeluh. Tidak berlebihan rasanya ketika Bahlil menyebutkan ayah dan ibunya sebagai inspirator terbesarnya hingga mampu berdiri di posisi saat ini.

Bahlil bercerita, dirinya pernah membantu sang ayah memikul batu dan pasir untuk membangun fondasi rumah yang sedang ayahnya garap. Saat itu, Bahlil masih duduk di bangku SMP. "Ayah saya bilang, kalau mau jadi sukses, kerja keras sungguh-sungguh dan jangan pernah merasa lelah," kata Bahlil.

 

Bahlil tidak pernah berhenti berterima kasih kepada orang tua. Meski mereka tidak memberikan nafkah berkecukupan semasa kecil, Bahlil merasakan, nilai-nilai yang ditanamkan kepada dirinya jauh lebih berharga. Dari kejujuran, kemandirian, hingga bekerja halal untuk dapat bertahan hidup dan menyambung pendidikan.

 

Semangat juang Bahlil untuk keluar dari zona nyaman juga diakuinya terinspirasi dari sang ayah. Bahkan, saat beliau masih sakit, jiwa petarungnya tidak pernah surut. Tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga juga masih dilakoninya dengan ikhlas.

 

Bahlil menambahkan, sang ayah juga selalu mengingatkannya untuk tidak pernah membayar keringat orang atau menggaji orang terlambat. Pesan ini disampaikan sang ayah setelah pernah merasakan pahitnya telat mendapatkan gaji saat masih menjadi buruh bangunan. Waktu itu, beliau hanya dibayar Rp 7.500 per hari.

 

Saat itu, keluarga besar Bahlil terpaksa harus makan singkong. Dua butir telur goreng dengan tepung pun harus rela dibagi delapan agar ada lauk untuk Bahlil dan adik-adiknya makan.

 

Rasa tanggung jawab untuk kerja keras dalam menghidupi keluarganya yang coba diadopsi Bahlil dalam bekerja. Meski sang ayah sudah meninggal pada 2003, Bahlil masih merasakan semangatnya. "Fighting spirit beliau itu yang selalu membekas pada saya," ucap Bahlil dengan mata berkaca-kaca.

 

Fuji Pratiwi

Redaktur

Kreatif

D. Purwo Widjianto

Baskoro Adhy

Nur Adi Wicaksono

Gilang EF

 

bahlil

laha dalia