Scroll Down
Kreatif
D. Purwo Widjianto
Baskoro Adhy
Nur Adi Wicaksono
Gilang EF
Membangun desa damai
Dibandingkan berbagai negara di dunia, Indonesia memiliki kekuatan budaya yang khas, yaitu toleransi.
Budaya ini mempersatukan masyarakat yang berlatar belakang suku, agama, dan tingkatan sosial yang berbeda-beda.
Keragaman tingkah laku dan
pemikiran justru menjadi motivasi untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang berkemajuan. Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid yang akrab disapa Yenny Wahid membuktikan itu. Melalui The Wahid Foundation (dulu
bernama the Wahid Institute), putri KH Abdurrah man Wahid ini merealisasikan toleransi dalam program pemberdayaan
yang bernama Desa Damai.
Desa Damai yang digagasnya sejak
2012 ini telah membuahkan hasil,
dengan sebanyak 9 desa di Pulau Jawa mendeklarasikan diri sebagai Desa Damai. Para perempuan di desa-desa tersebut dibekali dengan akses permodalan untuk meningkatkan ekonomi mereka, dengan membuat usaha tingkat desa. One village, one product. Jadi, secara ekonomi, sembilan
desa tersebut menjadi lebih kuat.
Atas perannya itu, Harian Republika
menobatkan Yenny Wahid sebagai salah satu penerima anugerah Tokoh
Perubahan 2018. Berikut petikan
wawancara Wartawan Republika Idealisa Masyrafina bersama aktivis Islam ini:
Seperti apa kisah hidup Anda dari
kecil hingga menjadi seperti sekarang ini?
Sejak kecil saya sudah terbiasa mengikuti bapak (Gus Dur). Beliau sering bertatap muka dengan tokoh dari beragam latar belakang
budaya dan agama. Jadi, dari kecil sudah terekspos beragam budaya, ragam pemikiran, dan aliran agama. Ini semua sangat memben tuk watak inklusif, menerima bahwa semua orang berhak untuk mempercayai kebenarannya masing-masing. Tidak bisa kita memaksa orang untuk mengikuti jalan kebenaran kita.
Di sisi lain, meskipun kami diajarkan
untuk berpikir progresif, tekanan budaya juga sangat kuat. Kami merasa bersyukur ada keseimbangan. Saya merasa cukup bisa memahami perspektif dari berbagai dunia yang ada, dunia barat apalagi setelah saya sekolah di luar negeri, di Harvard pada 2003.
Namun, sebelumnya saya kerja sebagai jur nalis, asisten koresponden Sydney Morning
Herald dan The Age. Sejak awal sudah terkena pemikiran yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Dua tarikan itu sangat
membantu saya untuk meluaskan cakrawala pemikiran.
Mulai kapan berkecimpung dalam
mengembangkan toleransi?
Minimal sudah 20 tahun sudah berkecimpung dengan pemikiran seperti itu. Kemudian, saat mendirikan Wahid Institute yang
sekarang namanya Wahid Foundation. Ini yang pertama kali mendirikan anak-anak muda. Saya, Mas Ahmad Suaedy, kemudian Gus Dur menjadi pengayom.
Gerakan kita pertama kali concern kitauntuk memperjuangkan Islam yang moderat. Agar bisa menciptakan kedamaian, toleransi baik di Indonesia maupun dunia.
Apa saja gerakan yang Anda lakukan?
Gerakan awalnya diskusi, penerbitan buku, seminar nasional dan internasional. Sekarang perkembangannya jauh lebih
kompleks lagi. Sekarang ada beberapa program kita. Salah satu program kunci kita adalah Desa Damai atau Peace Village, jadi kita
membangun perdamaian, toleransi, dan saling pengertian itu dimulai dari tingkat bawah.
Programnya memakai dari berbagai pendekatan, bukan hanya pendekatan transfer nilai, melainkan juga ekonomi, dan penguatan perempuan. Penguatan nilai-nilai aparatur negara di tingkat lokal. Karena selama ini kita
diskusi, tapi kalau persoalan persoalan mendasarnya belum selesai.
Apa saja persoalan yang belum selesai itu?
Misalnya, soal keadilan yang berkaitan dengan kesejahteraan, bagaimana orang bisa
diajak mikir? Akhirnya, kemudian kita membuat kegiatan itu, di mana kita membuat akses permodalan dan ekonomi kepada ibu-ibu di desa. Awalnya ibu-ibu di desa buat kelompok, bermacam-macam kelompok, tapi harus ada yang berbeda, misalnya agamanya berbeda.
Apa tujuannya?
Tujuannya untuk membangun dialog
antara mereka sendiri. Kenapa? Kita berangkat dari pemikiran mereka itu kecenderungannya, mainnya dengan kelompok mereka sendiri. Ibu-ibu majelis taklim mainnya sesama mereka saja, ibu-ibu gereja juga ma -
innya sesama mereka saja, begitu juga agama lain.
Jarang sekali setelah keluar dari bangku sekolah, kalau bangku sekolah negeri, sering berinteraksi dengan orang dengan latar
belakang berbeda. Namun, ketika mereka sudah bermasyarakat luas sebagai orang dewasa, ya jarang bertemu. Paling pertemuan
RT RW, orang jarang ikut juga. Kalau arisan juga biasanya dengan kelompok mereka sendiri.
Akhirnya, kita secara lembut mengajak mereka mengobrol, menciptakan ekosistem
untuk mereka ngobrol bareng-bareng agar menemukan titik kebersamaan. Setelah dialog terbangun, mereka akan menyadari aspirasinya sama. Mereka ingin anak mereka bersekolah, keluarga hidup lebih makmur, yang Muslim ingin bisa umrah, yang kristen
mau ke Vatikan. Caranya sama, dengan menabung.
Apa manfaat dialog?
Dialog untuk mencari persamaan. Di situlah akan tercipta kerukunan, keguyuban, akan ada kerja sama. Ketika ada kerja sama apa lagi di bidang ekonomi, ada usaha bersa -
ma yang banyak orang merasa memiliki. Biasanya kalau sudah begitu, usaha akan jadi lebih maju. Desanya akan lebih maju.
Berapa banyak Desa Damai yang
Anda bina?
Sudah ada 9 desa damai di Jawa: Malang, Sumenep, Parung, Klaten. Kalau sudah deklarasi nanti mereka berhak untuk mendapat bantuan permodalan untuk membuat usaha
tingkat desa. One village, one product. Tapi, praktiknya banyak produknya. Jadi, secara
ekonomi desanya jadi lebih kuat.
Ada banyak cerita, Bu Munah di Depok, dulu lantai rumahnya dari tanah. Sekarang bisa bangun rumah seharga Rp 60 juta. Ada yang buruh keset, yang dulu harga per buahnya cuma Rp 800. Sehari membuat 20
keset. Jadi, penghasilannya cuma Rp 16 ribu.
Setelah dapat akses permodalan dia bisa jadi juragannya, bisa buat sendiri, penghasilannya bisa naik sampai Rp 76 ribu. Kenikmatan yang luar biasa bagi saya adalah membantu orang agar hidupnya bisa menjadi lebih baik. Karena ini sesuai dengan ajaran Bapak saya dan keluarga saya, sesuai ajaran islam:
orang paling bermanfaat adalah yang berguna untuk sesama. Dari kecil sudah ditanamkan. Makanya, dari kecil sudah berpikir, tidak
boleh hidup hanya untuk diri sendiri.
Dialog untuk mencari
persamaan.
Di situ lah akan
tercipta kerukunan,
keguyuban, akan
ada kerja sama.
Berapa orang yang terdampak Desa Damai?
Sekarang sudah puluhan ribu yang terdampak. Anggotanya sudah ribuan dan keluarganya juga. Pada 2012 awalnya dari koperasi cinta damai Wahid lalu Peace Village.
Begitu kami bikin kegiatan ini, UN Women berinisiatif untuk mengajak kita kerja sama pada 2015. Tahun 2018 diundang ke PBB.
Koperasi awalnya di Parung dan Depok. Sekarang ada laundry, toko kue, dll. Semua dikerjakan oleh ibu-ibu. Ibu-ibu kampung yang tidak punya penghasilan karena ngasuh
anak, dengan menjadi agen laundry ada tambahan Rp 1 juta per bulan, ada lebih dari 100 agen. Hanya untuk laundry. Belum lagi produk kue-kue untuk lebaran. Saya sering pesan kue buatan ibu-ibu untuk saya kirim ke perwakilan negara-negara, dubes-dubes.
Mereka juga punya toko kue di Parung, Jateng, dan Malang, jadi produknya dipasarkan dengan kita bantu packaging-nya. Tadinya Cuma plastik biasa. Dengan kemas an
yang lebih bagus, harga jualnya bisa dua kali lipat. Pak Jokowi juga sempat membuka toko
kita saat Hari Perdamaian Dunia di Pesantren Annuqayah, Madura.
Bantuan apalagi selain permodal -
an?
Kami tidak hanya memberi bantuan ekonomi, tetapi juga transfer nilai, nilai-nilai tentang toleransi perdamaian dan juga untuk
masa depan yang lebih cerah. Contohnya, kita fasilitasi cara membuat perencanaan keluarga. Dulunya terbelit utang, sekarang
bisa nabung.
International Labour Organization (ILO) juga memberi banyak bantuan. Jaringan perusahaan swasta juga membantu sumbangan. Ibu-ibu ini juga diajari persoalan empowerment, bagaimana mereka dikuatkan bahwa peran perempuan itu strategis, dalam keluarga, masyarakat, dan dalam membangun
bangsa dan negara.
Ada beberapa yang kita bawa ke Jepang, Malaysia, dan lainnya, kerja sama dengan UN Women. Di Jepang mereka presentasi sebagai direct beneficiary, orang yang bisa
merasakan langsung manfaat dari kegiatan kami. Mereka lebih percaya diri dan menjadi agen pemersatu masyarakat di daerah masing-masing.
Apa pandangan masyarakat dunia
terhadap falsafah Indonesia?
Di negara Timur Tengah, Indonesia selalu jadi rujukan. Selalu pertanyaannya ‘bagaimana Indonesia mengelola perbedaan dengan begitu baik? Tolong ajari kami,’. Saya seminar di luar negeri dan saat mengenalkan diri dari Indonesia, mereka hormatnya sangat luar biasa. Terakhir saya ke Abu Dhabi.
Kemudian, saya sampaikan, Indonesia punya basis kearifan yang kuat. Pertama, Islam di Indonesia mempunyai kultur yang sangat toleran. Di Timur Tengah, orang In -
donesia disebut alim dan sangat religius.
Saya juga bilang bahwa mayoritas ormas agama di Indonesia sangat toleran dan aktif melakukan langkah-langkah untuk memas -
tikan hak-hak minoritas terjaga di hadapan konstitusi. Di sini bukan kelompok mayoritas
yang pasif.
Erdy Nasrul
Redaktur
Kreatif
D. Purwo Widjianto
Baskoro Adhy
Nur Adi Wicaksono
Gilang EF
Yenny Wahid
Pendiri The Wahid Foundation
Yenny
Wahid
Biodata
Nama: Yenny Wahid
Lahir:
Jombang, 29 Oktober 1974
Pendidikan :
Karier dan Aktivitas