Menjadikan Masjid Pusat Pemberdayaan Masyarakat

Ustaz Muhammad

Jazir ASP

Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan

Masjid tak hanya sekadar tempat beribadah. Pada era Rasulullah SAW, masjid merupakan pusat peradaban umat. Komitmen untuk mengembalikan masjid sebagai pusat peradaban umat inilah yang menjadikan Masjid Jogokariyan yang berlokasi di Jalan Jogokaryan Nomor 36, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, menjadi pusat perhatian masyarakat di Tanah Air hingga mancanegara.

 

Bermula dari sebuah langgar kecil, Masjid Jogokariyan telah menjelma menjadi pusat kegiatan yang terus berusaha membangun umat dan menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. Masjid ini tidak hanya makmur dengan kegiatan-kegiatan ubudiah, tetapi juga menjadi tempat rekreasi rohani jamaah dan tempat merujuk berbagai persoalan masyarakat.

 

Masjid yang berdiri pada 1966 ini dikenal luas memiliki beragam program pemberdayaan. Masyarakat kurang berpunya dibantu dan diberdayakan hingga terangkat derajat kehidupannya.

 

Masjid Jogokariyan pun menjadi rujukan. Berbagai pihak mempelajari model manajemen modern dalam pengelolaan masjid yang diterapkan. Capaian tersebut tak lepas dari sosok Ustaz Muhammad Jazir ASP. Ia menginisiasi agar masjid juga mengedepankan fungsi sosialnya, di samping sebagai tempat ibadah.

 

Gagasannya itu berangkat dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Ada problem kemiskinan yang harus dientaskan. Dia merasa pihak takmir masjid perlu mengambil peran di sana.

 

Harian Republika menobatkan Ustaz Jazir sebagai sebagai salah satu penerima anugerah Tokoh Perubahan 2018. Berikut adalah petikan wawancara wartawan Republika Wahyu Suryana bersama pria yang mengkhidmatkan diri untuk berdakwah itu.

Sejak kapan Anda mulai berdakwah?

Saya itu dulu sudah ketua pengajian anak-anak waktu kelas 5 SD. Kemudian, saya kelas 1 SMA sudah jadi ketua Remaja Masjid Jogokariyan. Sekitar tahun 1977 itu sudah di Masjid UGM. Bahkan, itu dulu belum ada masjid. Jadi, masjidnya di gelanggang mahasiswa.

 

Anda pernah membuat dan memopulerkan cara cepat belajar iqra?

Ya, dulu saya yang mengembangkan basis pengelolaannya jadi semacam kegiatan taman pendidikan Alquran. Itu sekitar tahun 1986 saya mulai kembangkan metode iqranya.

 

Setelah itu, saya teruskan ke seluruh Indonesia sehingga jadi puluhan unit dan mendapatkan penghargaan dari Presiden Habibie waktu itu sebagai Tokoh Perintis Gerakan Alquran Tingkat Nasional.

 

Sejak kapan menghadirkan transformasi ke Masjid Jogokariyan?

Sekitar 1999, saya sudah mengembangkan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf Alquran. Saat itu sudah banyak yang mengampu dan sudah banyak kader.


Kita waktu itu ada lebih dari 148 ribu unit dengan kurang lebih 14 peserta didik di tiap-tiap unit. Ketika itu jumlah warga miskin ada sekitar 380 KK. Saat menjadi ketua takmir, saya merasakan kondisi tersebut dan merasa bahwa masjid harus hadir memberi solusi.

 

Dulu itu masjid tidak bisa makmur karena tidak peduli lingkungan. Nah, saat kami mulai mengurus masyarakat, membantu kebutuhan pokok mereka, ternyata pendekatan kesejahteraan itu paling efektif.

 

Akan tetapi, muncul problem bahwa masjid tidak bisa terus-menerus memberikan bantuan yang sifatnya konsumtif. Dari situ timbul pemikiran, masyarakat harus diberdayakan. Muncullah gerakan pemberdayaan.

 

Maka, mulai dirintis jamaah kita berdayakan dengan modal yang didapat dari infak masjid dan zakat. Itu sebagian jadi modal usaha. Pada mulanya, tak sedikit yang takut dagangannya tidak laku. Tapi, kemudian saya bilang ke mereka, ya kalau gak laku dagangannya akan diborong masjid. Pokoknya yang penting mereka berani berusaha.

 

Bagaimana perkembangan program pemberdayaan itu?

Alhamdulillah banyak yang sudah terbantu dan mentas dari kemiskinan. Saat ini sudah ada sekitar 73 pengusaha yang dilahirkan oleh masjid. Mereka inilah yang sudah dibina dan dibantu.

 

Hanya saja, dari internal masjid juga ada yang keberatan. Mereka berpikiran mengapa uang masjid dipakai untuk modal usaha, membantu warga, beli beras. Mereka masih beranggapan uang masjid hendaknya untuk keperluan bayar listrik, air, bangun, dan operasional lainnya.

 

Kita lantas ubah pola pikir itu bagaimana infak untuk pemberdayaan. Kalau masyarakat yang kurang mampu menjadi berdaya, pada akhirnya mudah berpartisipasi untuk masjid.

 

Buktinya, pada 2003 ketika takmir hendak merenovasi masjid, bantuan dari masyarakat datang dengan mudah. Saya targetkan biayanya Rp 250 juta. Saya tidak meminta sumbangan, hanya dari infak saja. Ternyata masuk Rp 2,1 miliar karena masyarakat merasa keberadaan masjid mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

 

Program apa yang digencarkan?

Sejak 2003, program-program pemberdayaan pun semakin beragam. Salah satunya Pasar Sore Ramadhan. Kegiatan itu digelar untuk melatih pedagang pemula. Hingga kini jumlah pedagang yang dibina melalui Pasar Sore Ramadhan sudah sebanyak 460 pedagang yang rutin berjualan.

 

Besaran omzet pasar Ramadhan mencapai Rp 5 miliar dalam satu bulan. Dari capaian ini, kian banyak pihak yang tertarik ikut serta dalam Pasar Sore Ramadhan ini. Namun, pihak masjid membatasi untuk jatah pihak luar hanya 30 persen saja.

 

Intinya, semuanya saya benahi. Saya buat sistem pengelolaan masjid, sistem pendataan, dan sistem-sistem lain. Setelah 2003 itulah, Masjid Jogokariyan sudah mulai jadi masjid percontohan.

 

Apa landasan program-program yang dihadirkan Masjid Jogokariyan untuk masyarakat?

Sesuai tingkat kemampuan, kita selesaikan persoalan-persoalan masyarakat yang paling dasar. Kebutuhan pokok, seperti sembako misalnya, kita bantu. Terlebih, di sini ada 380 KK yang sangat miskin. Itu yang kita cukupkan kebutuhannya. Setiap 15 hari sekali kita kirim beras dan sembako kepada mereka supaya tercukupi.

 

Selain itu, ada 1.830 KK yang sadikin, sakit sedikit jadi miskin, karena tidak ada penghasilan tetap. Kita hadirkan poliklinik di masjid, asuransi kesehatan, bahkan pengurus-pengurus RT dan RT sekitar kita asuransikan kesehatannya.

 

Preminya dibayar oleh masjid, sekalipun mereka non-Muslim. Ada pula 180 KK yang diberikan kartu ATM beras. Kalau sewaktu-waktu mereka memerlukan beras tinggal datang ke masjid. ATM beras 24 jam. Jadi, masjid benar-benar sebagai solusi persoalan masyarakat.

 

Apa program-program baru yang sedang dikembangkan Masjid Jogokariyan?

Yang sekarang banyak kita lakukan pemberantasan korban rentenir. Kita cari masyarakat yang terjerat bank-bank, kita bebaskan. Misalnya, ada satu warga yang dalam satu hari bisa ada 12 rentenir yang datang.

 

Bayangkan, kalau penghasilannya Rp 600 ribu, itu habis untuk 12 rentenir. Akibatnya, hidupnya sangat miskin. Itu yang kita bebaskan dulu dari jeratan. Lalu, ada benah-benah rumah jamaah. Jadi, kalau ada rumah jamaah yang kurang layak, diperbaiki. Kita buatkan kamar mandi, dapur, ruang tamu. Jika tidak punya perabotan yang layak, kita bantu.

 

Tahun 2017 itu ada 18 rumah jamaah yang kita bantu. Tahun 2018 ada 22 rumah. Tahun ini ada 30 rumah yang kita targetkan. Terbaru, ada program Jogokariyan Lantai Dua. Itu kalau ada rumah-rumah warga yang di pinggir jalan, diusahakan oleh masjid menjadi dua lantai yang lantai satunya untuk usaha.

 

Selain itu, Ramadhan ini kita mulai pembangunan Jogokariyan 2 di Bantul, perumahan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi warga dan umat. Harga rumahnya terjangkau dan bisa diangsur.

 

Bahkan, ada di Cisarua, Tangerang, Karawang, yang menawarkan tanahnya untuk Jogokariyan 3, 4, dan 5. Kita belum selesaikan site plan-nya saja sudah banyak yang pesan. Nantinya untuk yang perdana ada 166 unit rumah untuk Kampung Jogokariyan 2.

 

Bagaimana Anda menularkan kesuksesan Masjid Jogokariyan ke masjid-masjid lain?

 

Kita tekankan agar program-program yang ada secepatnya kita jadikan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Mereka harus bisa memilih pola-pola pemberdayaan masyarakat yang tepat.

 

Sebenarnya, masyarakat kita hanya perlu contoh. Contoh-contoh itu yang belum banyak. Kalau konsep manajemen, konsep pemberdayaan, sudah banyak. Aplikasi nyatanya apalagi di masjid itu yang belum banyak.

 

Ketika kita mulai ternyata sangat luar biasa. Hasilnya nampak. Masyarakat mudah menduplikasinya. Ini misal peci dan batik Jogokariyan. Awalnya ada seorang jamaah, tidak ada kerjaan. Saya minta buatkan peci dan saya pakai, populerkan, sekarang sudah punya 15 penjahit.

 

Bahkan, penjualan di kantor tidak kurang 100 buah per hari dan kemarin sudah bisa ekspor ke Malaysia sampai 100 ribu buah. Yang menarik, waktu delapan tahun lalu ada kunjungan Parlemen Eropa ke sini, yang pertama ditanyakan ini Islam apa? Kok topinya beda?

 

Saya jelaskan, kalau saya pakai peci hitam itu yang untung orang Gresik, kalau kita pakai peci putih itu yang untung orang Tasik karena produksinya di sana. Sekarang kita pakai ini, jamaah-jamaah kita yang bisa mengambil manfaat.

 

Baju. Dulu Jogokariyan itu kampung batik. Oleh masjid, kita coba kembalikan. Ada motif khusus, ada gambar Masjid Jogokariyan, ada simbol Yogyakarta.

 

Bagaimana perkembangannya?

Permintaan luar biasa. Sekarang pengrajin-pengrajin kita kewalahan melayani pesanan. Bahkan, kalau saya pesan harus menunggu beberapa pekan. Soalnya ini batik tulis, buatan tangan.

 

Itu semua menjadi hal-hal sederhana yang dilakukan. Dulu yang jualan batik tulis itu sudah tidak laku. Sekarang orang-orang antre pesan. Jadi, sebetulnya masjid itu memang bisa jadi sumber pemberdayaan.

 

Selain itu, tugas masjid merawat budaya dan potensi masyarakat sekitar. Batik sebagai budaya busana Yogyakarta, terutama batik tulis yang mulai hilang, kita hidupkan.

 

Sampai kami pesan karpet masjid dengan motif batik parang Yogyakarta. Masjid sebagai bagian budaya setempat tidak dipertentangkan dengan agama dan budaya, akhirnya bisa saling memberi penguatan.

Kita tekankan agar program-program yang ada secepatnya kita jadikan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Apa yang Anda lakukan dalam menyiarkan nilai-nilai Islam?

Islam dan Indonesia, Islam dan Jawa, tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan pondasi kuat bagi Masjid Jogokariyan. Atas dasar itu, ap apun yang dilakukan Masjid Jogokariyan dilakukan untuk memperkuat ikatan-ikatan tersebut. Masyarakat menjadi perhatian utama.

 

Adapun program-program harus selalu memikirkan masyarakat, bagaimana masjid bisa berperan membangun masyarakat. Makanya, terus ditularkan gagasan-gagasan positif karena agar mereka merasakan manfaat dari masjid ini.

 

Bagi masjid itu sendiri, dampak positifnya mendapat kepercayaan. Satu contoh ketika masjid hanya sebagai tempat shalat, 2000-2003, infak baru Rp 43 juta selama satu tahun.

 

Tapi, ketika dirasakan ada manfaatnya, infak yang dipercayakan masyarakat mencapai Rp 3,6 miliar satu tahun. Lalu, zakat maal yang dulu hanya dikelola satu tahun Rp 4 juta-Rp 5 juta sekarang satu tahun mencapai Rp 1,7 miliar. Jadi, kemakmuran masjid ternyata memang berbanding lurus dengan kesejahteraan dan keberkahan yang bisa dihadirkan melalui kegiatan-kegiatan masjid.

 

Bagaimana mamadukan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal?

Islam itu secara fitrawi sebagai insting agama alam yang diciptakan Allah SWT sudah sesuai dengan kodrat alamnya, yaitu perbedaan. Perbedaan suku, bangsa, ras itu semua sebuah kenyataan kodrati seperti disampaikan Allah melalui surah al-Hujurat (ayat) 13. "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saing mengenal."

 

Jadi, perbedaan itu sudah satu kodrat. Eksistensi perbedaan itu harus kita sadari, kita jaga, dalam konteks menguatkan rasa saling kenal. Maka, di masjid dibuat logonya dalam huruf Jawa dan mungkin satu-satunya. Masjid Keraton saja tidak menggunakan logo huruf Jawa. Di sini selalu kita pasang merah putih dan Garuda Pancasila.

 

Jadi, aktivitas keagamaan memang sangat semarak. Kalau kita sering bilang masjid ini menghadirkan manusia 300 persen. Seratus persen kami Muslim, seratus persen kami Indonesia, dan seratus persen kami orang Jawa.

 

Bagaimana Anda menuntun jamaah-jamaah Masjid Jogokariyan senantiasa menjaga perpaduan itu?

Kita terus gelorakan kalau nilai-nilai kesukuan, kebangsaan, keagamaan tidak bisa dipisahkan. Itu satu paket dan kesadaran ini kita terus tumbuhkan sehingga tidak ada benturan nilai dan budaya antara Islam dan keindonesiaan maupun Islam dan kesukuan.

 

Terlebih, Kampung Jogokariyan secara historis merupakan kampung abdi dalem jadi memang memiliki dasar budaya Jawa yang sangat kuat.

 

Makanya, seandainya Islam yang hadir seakan-akan menghapus identitas kejawaan yang ada, tentu saja justru akan menghasilkan resistensi atau penolakan. Jadi, Jawa yang Islam dan Indonesia itu dibangun di sini.

 

Kita kuatkan itu dan ternyata menjadi sesuatu yang unik. Logo masjid tadi misalnya. Itu papan nama masjid jadi photo booth yang laris. Setiap orang singgah pasti mengambil gambar di sana.

 

Di sisi lain, Jogokariyan dikenal sebagai masyarakat yang dasar keislamannya kuat. Ini yang memang kita bangun sebagai dasar kesadaran kita bergerak dalam kultur Jawa, bingkai NKRI, dan mengaplikasikan Islam sesempurnanya.

 

Apa arti perubahan bagi Anda?

Perubahan itu merupakan watak alam. Di dunia ini, segala sesuatu pasti mengalami perubahan. Yang tidak berubah hanya perubahan itu sendiri. Jadi, kalau kita tidak berubah, kita akan dilindas zaman. Apalagi, bagi setiap penanggung jawab peradaban, termasuk takmir masjid, harus setiap saat berubah ke arah yang lebih baik, ke arah yang lebih bermanfaat, lebih memberdayakan, dan lebih diridhai Allah SWT.

 

Kalau dalam bahasa Islam populer hari ini istilahnya hijrah. Sebagai manusia, kita harus terus hijrah. Hijrah dari kegelapan ke terang benderang, hijrah dari tidak berdaya menjadi berdaya, dan hijrah dari terbebani menjadi menguatkan.

Yusuf Assidiq

Redaktur

Kreatif

D. Purwo Widjianto

Baskoro Adhy

Nur Adi Wicaksono

Gilang EF

 

Biodata

Nama:

Muhammad Jazir ASP

Lahir:

28 Oktober 1962 di Yogyakarta

Pendidikan:

  • Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
  • Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

 

Capaian:

  • Tahun 1986 merintis TK Alquran sebagai model pengajian anak-anak yang terstruktur dan menggerakkan TK Alquran ke seluruh Indonesia maupun Asia Tenggara
  • Tahun 1999 menjadi ketua umum takmir Masjid Jogokariyan dan membuat model manajemen masjid untuk perubahan dan pengembangan masyarakat.

Ustaz

Jazir