KH MA'RUF AMIN

Setia Melayani Masyarakat dan Media

Dalam kondisi sakit kanker paru-paru stadium IV, Sutopo Purwo Nugroho tetap menjalankan tugasnya sebagai juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan sangat baik. Pascavonis kanker oleh dokter, dua bencana besar melanda Indonesia. Gempa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan gempa serta likuefaksi di Sulawesi Tengah.

 

Setiap kali bencana melanda, Sutopo yang tengah berjuang melawan keganasan kanker--mulai menyebar ke tulang belakangnya--tetap siap siaga menyampaikan informasi kebencanaan terkini bagi publik di Tanah Air. Ia seakan tak mengenal kata lelah. Kapan pun, ia selalu melayani dan memberi informasi kepada awak media yang menghubunginya.

 

Dedikasi lulusan geografi Universitas Gadjah Mada ini tak perlu diragukan. Setiap kejadian bencana, namanya paling dicari media massa. Meski dalam keadaan sakit, Sutopo pun selalu bersemangat menjalankan tugasnya sebagai juru bicara BNPB.  Harian Republika menobatkan Sutopo sebagai salah satu penerima anugerah Tokoh Perubahan 2018. Berikut adalah petikan wawancara Wartawan Republika Fauziah Mursid bersama Sutopo Purwo Nugroho di ruang kerjanya, kantor BNPB, Senin (15/4).

Apa reaksi keluarga terhadap kondisi Anda?

Pertama mengenai sakit saya, ya semua syok di awal. Tapi, ya semua menyemangati dan yang membuat saya masih kuat dan bertahan adalah anak-anak. Anak-anak selalu telepon karena anak yang besar di Undip, kuliah, kemarin telepon bapak gimana kondisinya. Saya kalau cerita soal anak begini, nangis saya. Ya bagaimanapun anak, bapak gimana saya ya sehat, meskipun dia tahu sakit ya sudah jaga kesehatan.

 

Yang kecil juga sama kelas 1 SMP bagaimana sudah sembuh belum? Sehari-hari ketemu juga menyemangati semuanya, istri saya selalu sabar, juga ke mana-mana nganter dan sebagainya dan saya tahu orang yang kena kanker itu ekonomi rumah tangga ya langsung drop, ya bagaimanapun semua nggak siap untuk pakai berobat, tapi istri saya tidak mengeluh. Kedua, saya juga tetap bisa bermanfaat bagi masyarakat, tetap bisa memberikan hal yang sifatnya manfaat untuk masyarakat, sebagai bagian dari amal ibadah saya. Itu selalu.

 

Meski dengan kondisi sakit, Anda juga masih terus mengabarkan informasi kebencanaan?

Ya, saya tetap melayani, meski menahan sakit. Januari 2018, saya divonis kanker paru-paru stadium IV, yang kemudian dilakukan radiasi, kemoterapi, dan sebagainya. Kondisinya tambah sakit, sakit sekali. Namun, selama saya hidup ya saya harus tetap melayani teman media. Mungkin di situlah bagian dari amal perbuatan, amal ibadah, yang bisa saya lakukan, melayani teman-teman media, melayani masyarakat.

 

Pada 2018 itu bencana besar beruntun, Lombok lalu Palu. Itu dalam kondisi saya sakit sekali. Sakit sekali itu ya kondisinya besar seperti itu, saya dalam kondisi harus bolak-balik kemoterapi, jadi ketika pulang dari rumah sakit, saya langsung ke kantor untuk konferensi pers.

Sebenarnya gemeteran, tapi saya tahan dan selesai semuanya, ya saya pulang. Saya makanya sejak sakit itu tidak atau jarang sekali lah mau wawancara di studio. Ya saya selama di kantor, malam saya nggak ini karena tambah sakit. Dan ketika saya makin capek, sakitnya makin terasa. Saya sudah tahu pola-pola kanker, kanker itu fluktuatif karena begitu kita stamina drop langsung tambah sakit. Ditambah kondisi tulang belakang sini saya melengkung karena posisi kankernya itu mencengkeram pulang dia menarik otomatis tulangnya melengkung skoliosis. Dulu nggak sakit tapi sekarang tambah sakit.

 

Jadi, yang sakitnya itu sudah kena kankernya, di sini metastase menyebar di tulang, sakit di punggung dan tambah saya juga miring sakit, susah tidur. Tapi, dalam kondisi bencana, ketika saya melayani dengan hati riang, ikhlas yang penting, kadang saya lupa, malah rambut saya tumbuh nih. Biasanya orang kemoterapi itu gundul, rontok, botak, dulu saya botak tapi ini malah tumbuh.

 

Apakah kondisi sakit Anda memengaruhi?

Kadang, sakit itu saya justru lupa. Adrenalin saya justru keluar mencari informasi dan data, karena tidak seketika data itu terkumpul, meski saya sudah memiliki sistem informasi. BNPB mempunyai sistem informasi yang banyak, tetapi bagaimana yang riilnya dalam kondisi bencana, kadang listrik padam, di media sosial begitu cepatnya, muncul hoaks dan sebagianya.

 

Saya harus segera membuat suatu statement yang itu digunakan sebagai official statement, penjelasan resmi, dari pemerintah. Saya juga menyiapkan rilis, begitu rilis kan saya mengumpulkan kontak teman-teman wartawan, begitu langsung dibuatkan grup Whatsapp, tapi ada juga yang saya blasting langsung kirimkan penjelasannya, fotonya, videonya, sehingga masyarakat tenang.

Bahasa yang kita gunakan juga yang biasa menenangkan. Jangan terlalu membuat yang akhirnya masyarakat menjadi panik dan bingung. Ada hal-hal yang tentu masyarakat ketahui, terkait dengan kebencanaan, tetapi ada juga untuk konsumsi kita saja. Untuk aware skenario terburuk, tidak perlu masyarakat kita sampaikan. Dan faktanya masyarakat menunggu informasi dari saya. Kebetulan saya menjadi humas sejak erupsi merapi 2010 sampai sekarang. Jadi, sudah hafal polanya, tipikal apa, pertanyaan yang diharapkan masyarakat seperti apa.

 

Apa yang saya lakukan tidak ada beban. Artinya, saya selalu mencari bagaimana teman-teman media itu dapat data dan informasi yang lengkap. Tidak perlu saya tunggu ditanya tetapi saya kasih semuanya. Jadi, setiap ada pertanyaan, saya bisa jawab. Namun, nggak mungkin saya layani satu per satu, langsung saya blasting-kan semuanya agar dapat informasi.

Stasiun TV dan radio butuh wawancara saya. Makanya, saya sering konferensi pers itu di rumah, dalam kondisi sakit. Kalau saya melayani satu persatu tidak mungkin. Jadi, ya sudah silakan datang, makanya rumah saya itu sering depan rumah itu banyak mobil SNG. Kadang tetangga protes juga, tapi kadang sudah paham.

 

Saat pertama dapat laporan ada bencana, apa yang pertama kali di benak Pak Sutopo?

Pertama, saya lakukan pengecekan, benar atau tidak. Sering kan kita itu dapat, contoh kemarin, gempa 6,8 skala Richter, lalu BMKG mengaktivasi peringatan tsunami. Saya dapat, ada video-video air laut naik dan sebagainya. Benar atau tidak? Maka saya lakukan pengecekan, ya jika bisa langsung cepat. Kemarin itu listrik tidak ada masalah, bisa cepat.

Namun, ketika tsunami Selat Sunda, itu tengah malam, saya cuti, saya liburan sama keluarga. Tiba-tiba saya dapat telepon berdering banyak, saya cek. Ada fenomena apa, orang tsunami, saya tunggu BMKG. BMKG tidak ada warning tsunami. Tapi, dapat video betul dan saya cek itu betul. Oke, saya tunggu BMKG. BMKG adalah institusi resmi yang menyampaikan tentang masalah tsunami. BMKG mengatakan, gelombang pasang karena bulan purnama, ya saya sampaikan, saya kutip BMKG. Tapi dalam hati curiga, mosok sih gelombang pasang kayak gini, saya cek sendiri saya cari gempa di sekitar Samudra Hindia, bahkan negara-negara jauh tidak ada. Saya cek kondisi gunungnya, memang erupsi, tapi erupsinya kecil.

 

Lah kok bisa terjadi seperti itu, sampai tengah malam kita tidak tahu apa yang terjadi. Kemudian, kita analisis dan koordinasi dengan BMKG. Kesimpulan sementara adalah ini adalah longsoran bawah laut erupsi. Namun, erupsinya tidak besar, ya kita sampaikan dan terus-menerus, saya dalam kondisi cuti dan saya lagi di Jogja waktu itu. Saya rilis terus, meski dalam kondisi sakit sekali sebenarnya. Akhirnya ya saya siang harus konferensi pers, saya hubungi BPBD saya pinjam ruangan, teman-teman di Yogya ada yang mengoordinasi dan saya undang semuanya, saya sampaikan di situ.

Humas itu melayani dalam kondisi apa pun dan klien saya adalah masyarakat. Selama masyarakat masih mengeluh ada kekurangan dan sebagainya, berarti kerja kita kurang baik, harus kita tingkatkan.

Bagaimana tanggapan keluarga saat itu?

Ya untungnya, anak, istri, dan keluarga sudah mengerti kondisi itu. Jadi, tidak ada yang mengeluh. Dan pernah lagi antre operasi, tiba-tiba ada longsor di Brebes, korbannya banyak. Aduh ini seperti apa? Saya telepon BPBD, katanya benar longsor. Lalu dapat informasi dari mana, katanya camat. Lalu camat saya telepon, korban berapa, dia bilang enggak tahu tapi banyak, ini warga saya.

 

Saya langsung buat rilis. Saya itu kayak wartawan juga kerjanya. Saya buat rilis, waktu itu saya sudah di ruang operasi, saya blasting itu ke 3.000 wartawan. Malah kadang saya duluan karena saya suka cek di media, ternyata nggak ada, tapi saya duluan, akhirnya beritanya sama tidak ada yang kaos.

 

Bagaimana fungsi kehumasan dalam mengabarkan informasi tentang kebencanaan?

Humas itu melayani dalam kondisi apa pun dan klien saya adalah masyarakat. Selama masyarakat masih mengeluh ada kekurangan dan sebagainya, berarti kerja kita kurang baik, harus kita tingkatkan. Apalagi, sebagai humas bencana, bencana tidak mengenal hari, tidak mengenal tanggal libur dan sebagainya. Di Indonesia bencana-bencana besar, banyak justru kejadiannya Sabtu, Jumat sore, Jumat malam, Sabtu atau Ahad, korbannya banyak. Nah, kalau saya hanya pejabat birokrat, hanya menikmati fasilitas, ya duduk tapi saya langsung berhadapan dengan itu. Faktanya ketika terjadi bencana, semua media lari menuju saya, masyarakat juga menunggu informasi yang saya sampaikan, dalam kondisi apa pun, saya sakit ya harus tetap bekerja.

 

Apakah sistem kehumasan di BPNB bisa diterapkan di tempat lain?

Di semua kementerian lembaga dan di manapun, termasuk dunia usaha. Humas itu harus tadi, pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Teman-teman media itu membutuhkan informasi, tapi ketika tidak diberi ya dia nyari-nyari-nyari apalagi kalau humasnya susah dihubungi, banyak kan, (wartawan bilang), kami pasti dapat berita, tapi dari sumber orang lain atau tempat lain yang tidak kompeten, akhirnya beritanya tidak baik.

 

Jadi, ya humas-humas yang lain, sebenarnya saya sering menyampaikan dan sharing, jangan hanya menunggu ada kejadian, apalagi kalau ada kondisi krisis, kita harus segera tampil, itulah panggung kita, kita menyampaikan official statement agar semua masyarakat tenang. Dalam kondisi apa pun, kalau disini di BNPB, protapnya saya diberi kewenangan penuh, itu usulan wartawan. Dalam kondisi bencana, Pak Topo H-1 sampai H+3 harus ada di Jakarta. Kemudian kepala BNPB atau pimpinan ada di lokasi memberikan statement karena pernah saya tinggal, kaos. Karena media, bagaimanapun paling banyak di Jakarta, sementara untuk menuju lokasi butuh waktu, apalagi dengan kondisi listrik padam seperti palu dan sebagainya, banyak menunggu disini.

 

Namun, ada juga institusi yang inginnya pimpinan yang ngomong, itu yang repot. Karena tidak terlalu kompeten, sehingga humas hanya sebagai EO, saja fasilitator saja, nah di sini karena usulan teman media dan jadi kebijakan BNPB bahwa jika terjadi bencana dan kejadian krisis, di sini diserahkan ke juru bicaranya, pimpinan akan tetap menyampaikan tapi di lokasi bencana. Tiap kementerian lembaga beda-beda.

 

Anda diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara, apa yang dibicarakan?

Pak Jokowi aja nggak tahu kalau saya sakit, ketika dipanggil ke istana itu ketika selesai saya pamit, ‘Pak mohon doa restu, saya sembuh dari kanker’. Beliau kaget, ngomong, "Sebentar, Pak Sutopo saya lihat Bapak sehat, di TV juga semangat, nggak tahu kalau Bapak kanker stadium 4B."

 

Pak Jokowi tahu kanker stadium 4B seperti apa karena besannya meninggal karena kanker, lalu saya ceritakan. Beliau nanya gimana berobat dan ya sakit itu ya nggak enaklah. Sehat itu mahal. Ketika kondisi sakit, apa pun kita lakukan kalau sakit, kita meski ada BPJS. BPJS itu juga saya pejabat kayak gini semua biaya sendiri, ya ada dibantu dulu pimpinan saya Pak Wilem sering banyak membantu, tapi ya tidak semuanya ya.

 

Ketika kita bayar mahal sekali karena sekali kemo Rp 35 juta, kalau radiasi misalnya, kita misal sudah mengurus administrasi BPJS, begitu radiasi tunggu dua bulan dulu. Sedangkan, kita berpacu dengan kanker dan saya bisa kemo, satu ruang kecil, isinya empat dan itu selalu muntah-muntah dan harus bergantian kamar mandinya dalam kondisi stres, ya sudah bayar sendiri saja dan mahal sekali. Makanya, bersyukurlah mereka yang sehat, jaga kesehatan, pola hidup, ya kalau kita kasih tahu orang yang sehat begitu ya biasa tapi begitu sakit merasakannya.

 

Pengalaman menarik saat mengabarkan bencana kepada media?

Dimaki-maki masyarakat juga banyak ketika Palu dan Lombok beruntun, ada desakan politik dinaikkan bencana nasional. Kemudian saya rilis membuat potensi nasional mencukupi, Lombok tidak bencana nasional, itu banyak menggunakan Twitter, telepon, maki-maki saya, "pengkhianat kau Sutopo, Lombok tidak bencana nasional mati kau", masih ada saya screenshot.

Kemudian di-bully di medsos ketika di Selat Sunda, ketika saya mengatakan ini bukan tsunami, ini gelombang bukan pasang, ya saya mengacu pada BMKG, yang kemudian saya ralat itu tsunami setelah BMKG menyampaikan bahwa itu ada tsunami karena longsoran bawah laut. Wah itu di-bully di medsos saya. Kemudian ada yang menarik, ekspektasi masyarakat yang begitu banyak, contoh waktu Lombok juga dia ada yang menggunakan direct message. Karena saya tidak bisa melayani semua telepon banyak sekali, "Pak Topo, setelah terjadi gempa ibu saya itu tinggal di Praya Lombok, setelah terjadi gempa, rumah sebelah ibu saya itu roboh, semua orang itu meninggal dunia setelah itu, ibu saya setiap malam lihat kan kuntilanak tolong Pak Topo kirim petugas BNPB untuk mengurus kuntilanak itu." Itu waktu di Palu juga sama ada pengungsi di sana ada yang namanya hantu pok pok, tolong kirim petugas TNI polri basarnas, untuk usir bunyi pok pok itu agar tidak resah.

 

Pernah ada ibu-ibu telepon saya, dia dapat dari wartawan. Pak Topo saya dapat ini saya minta tolong kucing kesayangan saya naik pohon tidak bisa turun. Lalu saya tanya ibu di mana, dia ternyata di Bantul, ya saya telepon BPBD di sana lalu nurunin kucing kesayangannya. Artinya apa? Masyarakat seperti itu melihatnya jadi di luar batas, artinya bukan hanya saya melayani dengan media, tapi harapan masyarakat jauh seperti itu saya itu banyak sekali.

Erdy Nasrul

Redaktur

Kreatif

D. Purwo Widjianto

Baskoro Adhy

Nur Adi Wicaksono

Gilang EF

 

Sutopo Purwo Nugroho

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB

Biodata

Nama Lengkap:

Sutopo Purwo Nugroho

Tempat/Tgl Lahir:

Boyolali, 7 Oktober 1969

Agama: Islam

Jabatan Fungsional:

Peneliti Utama Gol IV/e Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah

Jabatan Struktural:

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

 

 

Pekerjaan lain:

  1. Doap Universitas Pertahanan Indonesia
  2. Dosen Pascasarjana di Universitas Indonesia
  3. Dosen Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor
  4. Dosen Tetap Universitas Bung Hatta, Padang
  5. Dosen Sesko TNI

Sutopo

Purwo

Nugroho